Sabtu, 24 Desember 2011

Manajemen Berbasis Sekolah


A.      Pengertian Manajemen Sekolah
Istilah manajemen sekolah acapkali disandingkan dengan istilah administrasi sekolah. Berkaitan dengan itu, terdapat tiga pandangan berbeda; pertama, mengartikan administrasi lebih luas dari pada manajemen (manajemen merupakan inti dari administrasi); kedua, melihat manajemen lebih luas dari pada administrasi ( administrasi merupakan inti dari manajemen); dan ketiga yang menganggap bahwa manajemen identik dengan administrasi.
Dalam makalah ini, istilah manajemen diartikan sama dengan istilah administrasi atau pengelolaan, yaitu segala usaha bersama untuk mendayagunakan sumber-sumber, baik personal maupun material, secara efektif dan efisien guna menunjang tercapainya tujuan pendidikan di sekolah secara optimal.
Berdasarkan fungsi pokoknya, istilah manajemen dan administrasi mempunyai fungsi yang sama, yaitu:
1.    merencanakan (planning),
2.    mengorganisasikan (organizing),
3.    mengarahkan (directing),
4.    mengkoordinasikan (coordinating),
5.    mengawasi (controlling), dan
6.    mengevaluasi (evaluation).
Menurut Gaffar (1989) mengemukakan bahwa manjemen pendidikan mengandung arti sebagai suatu proses kerja sama yang sistematik, sitemik, dan komprehensif dalam rangka mewujudkan tujuan pendidikan nasional.

B.       Manajemen berbasis sekolah
Sejak beberapa waktu terakhir, kita dikenalkan dengan pendekatan “baru” dalam manajemen sekolah yang diacu sebagai manajemen berbasis sekolah (school based management) atau disingkat MBS. Di mancanegara, seperti Amerika Serikat, pendekatan ini sebenarnya telah berkembang cukup lama. Pada 1988 American Association of School
Administrators, National Association of Elementary School Principals, and National Association of Secondary School Principals, menerbitkan dokumen berjudul school based management, a strategy for better learning. Munculnya gagasan ini dipicu oleh ketidakpuasan atau kegerahan para pengelola pendidikan pada level operasional atas keterbatasan kewenangan yang mereka miliki untuk dapat mengelola sekolah secara mandiri.
Umumnya dipandang bahwa para kepala sekolah merasa tak berdaya karena terperangkap dalam ketergantungan berlebihan terhadap konteks pendidikan. Akibatnya, peran utama mereka sebagai pemimpin pendidikan semakin dikerdilkan dengan rutinitas urusan birokrasi yang menumpulkan kreativitas berinovasi.
Di Indonesia, gagasan penerapan pendekatan ini muncul belakangan sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah sebagai paradigma baru dalam pengoperasian sekolah. Selama ini, sekolah hanyalah kepanjangan tangan birokrasi pemerintah pusat untuk menyelenggarakan urusan politik pendidikan. Para pengelola sekolah sama sekali tidak memiliki banyak kelonggaran untuk mengoperasikan sekolahnya secara mandiri. Semua kebijakan tentang penyelenggaran pendidikan di sekolah umumnya diadakan di tingkat pemerintah pusat atau sebagian di instansi vertikal dan sekolah hanya menerima apa adanya.
Apa saja muatan kurikulum pendidikan di sekolah adalah urusan pusat, kepala sekolah dan guru harus melaksanakannya sesuai dengan petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknisnya. Anggaran pendidikan mengalir dari pusat ke daerah menelusuri saluran birokrasi dengan begitu banyak simpul yang masing-masing menginginkan bagian. Tidak heran jika nilai akhir yang diterima di tingkat paling operasional telah menyusut lebih dari separuhnya.
Kita khawatir, jangan-jangan selama ini lebih dari separuh dana pendidikan sebenarnya dipakai untuk hal-hal yang sama sekali tidak atau kurang berurusan dengan proses pembelajaran di level yang paling operasional, sekolah.
MBS adalah upaya serius yang rumit, yang memunculkan berbagai isyu kebijakan dan melibatkan banyak lini kewenangan dalam pengambilan keputusan serta tanggung jawab dan akuntabilitas atas konsekuensi keputusan yang diambil. Oleh sebab itu, semua pihak yang terlibat perlu memahami benar pengertian MBS, manfaat, masalah-masalah dalam penerapannya, dan yang terpenting adalah pengaruhnya terhadap prestasi belajar murid.
Manajemen berbasis sekolah dapat bermakna adalah desentralisasi yang sistematis pada otoritas dan tanggung jawab tingkat sekolah untuk membuat keputusan atas masalah signifikan terkait penyelenggaraan sekolah dalam kerangka kerja yang ditetapkan oleh pusat terkait tujuan, kebijakan, kurikulum, standar, dan akuntabilitas. Tampaknya pemerintah dari setiap negara ingin melihat adanya transformasi sekolah. Transformasi diperoleh ketika perubahan yang signifikan, sistematik, dan berlanjut terjadi, mengakibatkan hasil belajar siswa yang meningkat di segala keadaan (setting), dengan demikian memberikan kontribusi pada kesejahteraan ekonomi dan sosial suatu negara. Manajemen berbasis sekolah selalu diusulkan sebagai satu strategi untuk mencapai transformasi sekolah.
Manajemen berbasis sekolah telah dilembagakan di tempat-tempat seperti Inggris, dimana lebih dari 25.000 sekolah telah mempraktikkannya lebih dari satu dekade. Atau seperti Selandia Baru atau Victoria, Australia atau di beberapa sistem sekolah yang besar) di Kanada dan Amerika Serikat, dimana terdapat pengalaman sejenis selama lebih dari satu dekade. Praktik manajemen berbasis sekolah di tempat-tempat ini tampaknya tidak dapat dilacak mundur. Satu indikasi skala dan lingkup minat terhadap manajemen berbasis sekolah diagendakan pada Pertemuan Menteri-menteri Pendidikan dari Negara APEC di Chili pada April 2004. APEC (Asia Pacific Economic Cooperation) merupakan satu jejaring 21 negara yang mengandung sepertiga dari populasi dunia. Tema dari pertemuan adalah “mutu dalam pendidikan” dan tata kelola merupakan satu dari empat sub tema. Perhatian khusus diarahkan pada desentralisasi. Para menteri sangat menyarankan (endorse) manajemen berbasis sekolah sebagai satu strategi dalam reformasi pendidikan, tatapi juga menyetujui aspek-aspek sentralisasi, seperti kerangka kerja bagi akuntabilitas. Mereka mengakui bahwa pengaturannya akan bervariasi di masing-masing negara, yang merefleksikan keunikan tiap-tiap setting.
Manajemen berbasis sekolah memiliki banyak bayangan makna. Ia telah diimplementasikan dengan cara yang berbeda dan untuk tujuan berbeda dan pada laju yang berbeda di tempat yang berbeda. Bahkan konsep yang lebih mendasar dari “sekolah” dan “manajemen” adalah berbeda, seperti berbedanya budaya dan nilai yang melandasi upaya-upaya pembuat kebijakan dan praktisi. Akan tetapi, alasan yang sama di seluruh tempat dimana manajemen berbasis sekolah diimplementasikan adalah bahwa adanya peningkatan otoritas dan tanggung jawab di tingkat sekolah, tetapi masih dalam kerangka kerja yang ditetapkan di pusat untuk memastikan bahwa satu makna sistem terpelihara. Satu implikasi penting adalah bahwa para pemimpin sekolah harus memiliki kapasitas membuat keputusan terhadap hal-hal signifikan terkait operasi sekolah dan mengakui dan mengambil unsur-unsur yang ditetapkan dalam kerangka kerja pusat yang berlaku di seluruh sekolah.

C.      Manfaat manajemen berbasis sekolah (MBS
MBS dipandang sebagai alternatif dari pola umum pengoperasian sekolah yang selama ini memusatkan wewenang di kantor pusat dan daerah. MBS adalah strategi untuk meningkatkan pendidikan dengan mendelegasikan kewenangan pengambilan keputusan penting dari pusat dan dearah ke tingkat sekolah. Dengan demikian, MBS pada dasarnya merupakan sistem manajemen di mana sekolah merupakan unit pengambilan keputusan penting tentang penyelenggaraan pendidikan secara mandiri. MBS memberikan kesempatan pengendalian lebih besar bagi kepala sekolah, guru, murid, dan orang tua atas proses pendidikan di sekolah mereka.
Dalam pendekatan ini, tanggung jawab pengambilan keputusan tertentu mengenai anggaran, kepegawaian, dan kurikulum ditempatkan di tingkat sekolah dan bukan di tingkat daerah, apalagi pusat. Melalui keterlibatan guru, orang tua, dan anggota masyarakat lainnya dalam keputusan-keputusan penting itu, MBS dipandang dapat menciptakan lingkungan belajar yang efektif bagi para murid. Dengan demikian, pada dasarnya MBS adalah upaya memandirikan sekolah dengan memberdayakannya.
Para pendukung MBS berpendapat bahwa prestasi belajar murid lebih mungkin meningkat jika manajemen pendidikan dipusatkan di sekolah ketimbang pada tingkat daerah. Para kepala sekolah cenderung lebih peka dan sangat mengetahui kebutuhan murid dan sekolahnya ketimbang para birokrat di tingkat pusat atau daerah. Lebih lanjut dinyatakan bahwa reformasi pendidikan yang bagus sekalipun tidak akan berhasil jika para guru yang harus menerapkannya tidak berperanserta merencanakannya.
Para pendukung MBS menyatakan bahwa pendekatan ini memiliki lebih banyak maslahatnya ketimbang pengambilan keputusan yang terpusat. Maslahat itu antara lain menciptakan sumber kepemimpinan baru, lebih demokratis dan terbuka, serta menciptakan keseimbangan yang pas antara anggaran yang tersedia dan prioritas program pembelajaran. Pengambilan keputusan yang melibatkan semua pihak yang berkepentingan meningkatkan motivasi dan komunikasi (dua variabel penting bagi kinerja guru) dan pada gilirannya meningkatkan prestasi belajar murid. MBS bahkan dipandang sebagai salah satu cara untuk menarik dan mempertahankan guru dan staf yang berkualitas tinggi.
Penerapan MBS yang efektif secara spesifik mengidentifikasi beberapa manfaat spesifik dari penerapan MBS sebagai berikut :
1.         Memungkinkan orang-orang yang kompeten di sekolah untuk mengambil keputusan yang akan meningkatkan pembelajaran.
2.          Memberi peluang bagi seluruh anggota sekolah untuk terlibat dalam pengambilan keputusan penting.
3.          Mendorong munculnya kreativitas dalam merancang bangun program pembelajaran.
4.         Mengarahkan kembali sumber daya yang tersedia untuk mendukung tujuan yang dikembangkan di setiap sekolah.
5.          Menghasilkan rencana anggaran yang lebih realistik ketika orang tua dan guru makin menyadari keadaan keuangan sekolah, batasan pengeluaran, dan biaya program-program sekolah.
6.          Meningkatkan motivasi guru dan mengembangkan kepemimpinan baru di semua level.

D.      Tujuan MBS
Manajemen berbasis sekolah (MBS) merupakan salah satu upaya pemerintah untuk mencapai keunggulan masyarakat bangsa dalam penguasaan ilmu dan teknologi, yang dinyatakan dalam GBHN. Hal tersebut diharapkan dapat dijadikan landasan dalam pengembangan pendidikan di Indonesia yang berkualitas dan berkelanjutan, baik secara makro, meso, maupun mikro.
MBS, yang ditandai dengan otonomi sekolah dan pelibatan masyarakat merupakan respons pemerintah terhadap gejala-gejala yang muncul di masyarakat, bertujuan untuk meningkatkan efisiensi, mutu, dan pemerataan pendidikan. Peningkatan efisiensi, antara lain, diperoleh melalui keleluasaan mengelola sumber daya partisipasi masyarakat dan penyederhanaan birokrasi. Sementara peningkatan mutu dapat diperoleh, antara lain, melalui partisipasi orang tua terhadap sekolah, fleksibilitas pengelolaan sekolah dan k elas, peningkatan profesionalisme guru dan kepala sekolah, berlakunya system insentif serta disinsetif. Peningkatan pemerataan antara lain diperoleh melalui peningkatan partisipasi masyarakat yang memungkinkan pemerintah lebih brkonsentrasi pada kelompok tertentu. Hal ini dimungkinkan karena pada sebagian masyarakat tumbuh rasa kepemilikan yang tinggi terhadap sekolah.       

E.       Syarat Penerapan manajemen berbasis sekolah (MBS)
Sejak awal, pemerintah (pusat dan daerah) haruslah suportif atas gagasan MBS. Mereka harus mempercayai kepala sekolah dan dewan sekolah untuk menentukan cara mencapai sasaran pendidikan di masing-masing sekolah. Penting artinya memiliki kesepakatan tertulis yang memuat secara rinci peran dan tanggung jawab dewan pendidikan daerah, dinas pendidikan daerah, kepala sekolah, dan dewan sekolah. Kesepakatan itu harus dengan jelas menyatakan standar yang akan dipakai sebagai dasar penilaian akuntabilitas sekolah. Setiap sekolah perlu menyusun laporan kinerja tahunan yang mencakup “seberapa baik kinerja sekolah dalam upayanya mencapai tujuan dan sasaran, bagaimana sekolah menggunakan sumber dayanya, dan apa rencana selanjutnya.”
Perlu diadakan pelatihan dalam bidang-bidang seperti dinamika kelompok, pemecahan masalah dan pengambilan keputusan, penanganan konflik, teknik presentasi, manajemen stress, serta komunikasi antarpribadi dalam kelompok. Pelatihan ini ditujukan bagi semua pihak yang terlibat di sekolah dan anggota masyarakat, khususnya pada tahap awal penerapan MBS. Untuk memenuhi tantangan pekerjaan, kepala sekolah kemungkinan besar memerlukan tambahan pelatihan kepemimpinan.
1)        Dengan kata lain, penerapan MBS mensyaratkan yang berikut.
 MBS harus mendapat dukungan staf sekolah.
2)         MBS lebih mungkin berhasil jika diterapkan secara bertahap.
Kemungkinan diperlukan lima tahun atau lebih untuk menerapkan MBS secara berhasil.
3)         Staf sekolah dan kantor dinas harus memperoleh pelatihan penerapannya, pada saat yang sama juga harus belajar menyesuaikan diri dengan peran dan saluran komunikasi yang baru.
4)         Harus disediakan dukungan anggaran untuk pelatihan dan penyediaan waktu bagi staf untuk bertemu secara teratur.
5)        Pemerintah pusat dan daerah harus mendelegasikan wewenang kepada kepala sekolah, dan kepala sekolah selanjutnya berbagi kewenangan ini dengan para guru dan orang tua murid.

F.       Hambatan Dalam Penerapan manajemen berbasis sekolah (MBS)
Beberapa hambatan yang mungkin dihadapi pihak-pihak berkepentingan dalam penerapan MBS adalah sebagai berikut :
1.         Tidak Berminat Untuk Terlibat Sebagian orang tidak menginginkan kerja tambahan selain pekerjaan yang sekarang mereka lakukan. Mereka tidak berminat untuk ikut serta dalam kegiatan yang menurut mereka hanya menambah beban. Anggota dewan sekolah harus lebih banyak menggunakan waktunya dalam hal-hal yang menyangkut perencanaan dan anggaran. Akibatnya kepala sekolah dan guru tidak memiliki banyak waktu lagi yang tersisa untuk memikirkan aspek-aspek lain dari pekerjaan mereka. Tidak semua guru akan berminat dalam proses penyusunan anggaran atau tidak ingin menyediakan waktunya untuk urusan itu.
2.         Tidak Efisien
Pengambilan keputusan yang dilakukan secara partisipatif adakalanya menimbulkan frustrasi dan seringkali lebih lamban dibandingkan dengan cara-cara yang otokratis. Para anggota dewan sekolah harus dapat bekerja sama dan memusatkan perhatian pada tugas, bukan pada hal-hal lain di luar itu.
3.         Pikiran Kelompok
Setelah beberapa saat bersama, para anggota dewan sekolah kemungkinan besar akan semakin kohesif. Di satu sisi hal ini berdampak positif karena mereka akan saling mendukung satu sama lain. Di sisi lain, kohesivitas itu menyebabkan anggota terlalu kompromis hanya karena tidak merasa enak berlainan pendapat dengan anggota lainnya. Pada saat inilah dewan sekolah mulai terjangkit “pikiran kelompok.” Ini berbahaya karena keputusan yang diambil kemungkinan besar tidak lagi realistis.
4.         Memerlukan Pelatihan
Pihak-pihak yang berkepentingan kemungkinan besar sama sekali tidak atau belum berpengalaman menerapkan model yang rumit dan partisipatif ini. Mereka kemungkinan besar tidak memiliki pengetahuan dan keterampilan tentang hakikat MBS sebenarnya dan bagaimana cara kerjanya, pengambilan keputusan, komunikasi, dan sebagainya.
5.         Kebingungan Atas Peran dan Tanggung Jawab Baru
Pihak-pihak yang terlibat kemungkinan besar telah sangat terkondisi dengan iklim kerja yang selama ini mereka geluti. Penerapan MBS mengubah peran dan tanggung jawab pihak-pihak yang berkepentingan. Perubahan yang mendadak kemungkinan besar akan menimbulkan kejutan dan kebingungan sehingga mereka ragu untuk memikul tanggung jawab pengambilan keputusan.
6.         Kesulitan Koordinasi
Setiap penerapan model yang rumit dan mencakup kegiatan yang beragam mengharuskan adanya koordinasi yang efektif dan efisien. Tanpa itu, kegiatan yang beragam akan berjalan sendiri ke tujuannya masing-masing yang kemungkinan besar sama sekali menjauh dari tujuan sekolah.
Apabila pihak-pihak yang berkepentingan telah dilibatkan sejak awal, mereka dapat memastikan bahwa setiap hambatan telah ditangani sebelum penerapan MBS. Dua unsur penting adalah pelatihan yang cukup tentang MBS dan klarifikasi peran dan tanggung jawab serta hasil yang diharapkan kepada semua pihak yang berkepentingan. Selain itu, semua yang terlibat harus memahami apa saja tanggung jawab pengambilan keputusan yang dapat dibagi, oleh siapa, dan pada level mana dalam organisasi.
Anggota masyarakat sekolah harus menyadari bahwa adakalanya harapan yang dibebankan kepada sekolah terlalu tinggi. Pengalaman penerapannya di tempat lain menunjukkan bahwa daerah yang paling berhasil menerapkan MBS telah memfokuskan harapan mereka pada dua maslahat: meningkatkan keterlibatan dalam pengambilan keputusan dan menghasilkan keputusan lebih baik.

G.      Faktor-Faktor yang Perlu Diperhatikan
BPPN bekerjasama dengan Bank Dunia (1999) telah mengkaji beberapa faktor yang perlu diperhatikan sehubungan dengan manajemen berbasis sekolah. Faktor-faktor tersebut berkaitan dengan kewajiban sekolah, kebijakan dan prioritas pemerintah, peranan orang tua dan masyarakat, peranan profesionalisme dan manajerial, serta pengembangan profesi.
a)         Kewajiban Sekolah
Manajemen  berbasis sekolah yang menawarkan keleluasaan pengelolaan sekolah memiliki potensi yang besar dalam menciptakan kepala sekolah, guru, dan pengelola sistem pendidikan profesional. Oleh karena itu , pelaksanaanya perlu disertai seperangkat kewajiban, serta monitoring dan tuntutan pertanggung jawaban (akuntabel) yang relatif tinggi, untuk menjamin bahwa sekolah selain memiliki otonomi juga mempunyai kewajiban melaksanakan kebijakan pemerintah dan memenuhi harapan masyarakat sekolah. Dengan demikian , sekolah dituntut mampu menampilkan pengelolaan sumber daya secara transparan , demokratis, tanpa monopoli , dan bertanggung jawab baik terhadap masyarakat maupun pemerintah , dalam rangga meningkatkan kapasitas pelayanan terhadap peserta didik.
b)        Kebijakan dan Prioritas Pemerintah
Pemerintah sebagai penanggung jawab pendidikan nasional berhak merumuskan kebijakan yang menjadi prioritas nasional terutama yang berkaitan dengan program peningkatan peningkatan huruf dan angka, efisiensi , mutu, dan pemerataan pendidikan.
Dalam hal-hal tersebut ,sekolah tidak diperbolehkan untuk berjalan sendiri dengan mengabaikan kebijakan dan standar yang ditetapkan oleh pemerintah yang dipilih secara demokratis.
Agar prioritas-prioritas pemerintah dilaksanakan oleh sekolah dan semua aktivitas sekolah ditunjukan untuk memberikan pelayanan kepada peserta didik sehingga dapat belajar dengan baik, pemerintah perlu merumuskan seperangkat pedoman umum tentang pelaksanaan MBS. Pedoman-pedoman tersebut , terutama , di tunjukan untuk menjamin bahwa hasil pendidikan terevalusi dengan baik, kebijakan-kebijakan pemerintah dilaksanakan secara efektif, sekolah di operasikan dan kerangka yang disetujui pemerintah, dan anggaran dibelanjakan sesuai dengan tujuan.
c)         Peranan Orangtua dan Masyarakat
MBS menuntut dukungan tenaga kerja yang terampil dan berkualitas untuk membangkitkan motivasi kerja yang lebih produktif dan memberdayakan otoritas daerah setempat, serta mengefisienkan sistem dan menghilangkan birokrasi yang tumpah tindih.
Untuk kepentingan tersebut, diperlukan partisipasi masyarakat, dan hal ini merupakan salah satu aspek penting dalar manajemen berbasis- sekolah. Melalui dewan sekolah (school council), orang tua dan masyarakat dapat berpartisipasi dalam pembuatan berbagai keputusan. Dengan demikian, masyarakat dapat lebih memahami, serta mengawasi dan membantu sekolah dalam pengelolaan ter­masuk kegiatan belajar-mengajar. Besarnya partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sekolah tersebut, mungkin dapat menimbulkan rancunya kepentingan antara sekolah, orang tua, dan masyarakat. Dalam hal ini pemerintah perlu merumuskan bentuk partisipasi (pembagian tugas) setiap unsur secara jelas dan tegas.
d.    Peranan Profesionalisme dan Manajerial
Manajemen berbasis sekolah menuntut perubahan-perubahan tingkah laku kepala sekolah, guru, dan tenaga administrasi dalam mengoperasikan sekolah. Pelaksanaan MBS berpotensi mening­katkan gesekan peranan yang bersifat profesional dan manajerial. Untuk memenuhi persyaratan pelaksanaan MBS, kepala sekolah, guru, dan tenaga administrasi harus memiliki kedua sifat tersebut, yaitu profesional dan manajerial. Mereka harus memiliki penge­tahuan yang dalam tentang peserta didik dan prinsip-prinsip pen­didikan untuk 'menjamin bahwa segala keputusan penting yang dibuat oleh sekolah, didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan pendidikan. Kepala sekolah khususnya, perlu mempelajari dengan teliti, baik kebijakan dan prioritas pemerintah maupun prioritas sekolah sendiri. Untuk kepentingan tersebut, kepala sekolah harus:
1)    Memiliki kemampuan untuk berkolaborasi dengan guru dan masyarakat sekitar sekolah
2)    Memiliki pemahaman dan wawasan yang luas tentang teori pendidikan dan pembelajaran;
3)    Memiliki kemampuan dan keterampilan untuk menganalisis situasi sekarang berdasarkan apa yang seharusnya serta mampu memperkirakan kejadian di masa depan berdasarkan sititasi sekarang;
4)    Memiliki kemauan dan kemampuan untuk mengidentifikasi masalah dan kebutuhan yang berkaitan dengan efektivitas pendidikan di sekolah, dan
5)    Mampu memanfaatkan berbagai peluang, menjadikan tantangan sebagai peluang, sema mengkonseptualkan arah baru untuk perubahan.
Pemahaman terhadap sifat profesional dan manajerial tersebut sangat penting agar peningkatan efisiensi, mutu, dan pemerataan serta supervise dan monitoring yang direncanakan sekolah betul­-betul untuk mencapai tujuan pendidikan sesuai dengan kerangka kebijakan pemerintah dan tujuan sekolah.
e.     Pengembangan Profesi
Dalam MBS pemerintah harus menjamin bahwa semua unsur penting tenaga kependidikan (sumber manusia) menerima pengem­bangan profesi yang diperlukan untuk mengelola sekolah secara efektif. Agar sekolah dapat mengambil manfaat yang ditawarkan MBS, perlu dikembangkan adanya pusat pengembangan profesi, yang berfungsi sebagai penyedia jasa pelatihan bagi tenaga kepen­didikan untuk MBS. Selain itu, penting untuk dicatat bahwa se­baiknya sekolah dan masyarakat perlu dilibatkan dalam proses pelaksanaan MBS sedini mungkin. Mereka tidak perlu hanya menunggu, tetapi melibatkan diri dalam diskusi-diskusi tentang MBS dan berinisiatif untuk menyelenggarakan pelatihan tentang aspek-aspek yang terkait.

H.      Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) yang berhubungan Prestasi Belajar Murid
MBS merupakan salah satu gagasan yang diterapkan untuk meningkatkan pendidikan umum. Tujuan akhirnya adalah meningkatkan lingkungan yang kondusif bagi pembelajaran murid. Dengan demikian, ia bukan sekadar cara demokratis melibatkan lebih banyak pihak dalam pengambilan keputusan. Keterlibatan itu tidak berarti banyak jika keputusan yang diambil tidak membuahkan hasil lebih baik.Kita belum memiliki pengalaman untuk mengaitkan penerapan MBS dengan prestasi belajar murid.
Di Amerika Serikat (David Peterson, ERIC_Digests, 2002) upaya mengaitkan MBS dengan prestasi belajar murid masih problematis. Belum banyak penelitian kuantitatif yang telah dilakukan dalam topik ini. Selain itu, masih diragukan apakah benar penerapan MBS berkaitan dengan prestasi murid. Boleh jadi masih banyak faktor lain yang mungkin mempengaruhi prestasi itu setelah diterapkannya MBS. Masalah penelitian ini makin diperparah dengan tiadanya definisi standar mengenai MBS. Studi yang dilakukan tidak selamanya mengindikasikan sejauhmana sekolah telah mendistribusikan kembali wewenangnya.
Salah satu studi yang dilakukan yang menelaah ratusan dokumen justru menunjukkan bahwa dalam banyak contoh, MBS tidak mencapai tujuan yang ditetapkan. Studi itu menunjukkan bahwa peningkatan prestasi murid tampaknya hanya terjadi di sejumlah sekolah yang dijadikan pilot studi dan dalam jangka waktu tidak lama pula.
Hasil MBS di daerah perkotaan masih belum jelas benar. Di sekolah di daerah pingiran kota Maryland menunjukkan adanya peningkatan prestasi murid dalam skor tes terutama di kalangan orang Amerika keturunan Afrika, setelah menerapkan lima langkah rencana reformasi, termasuk MBS. Namun, di tempat lain, seperti Dade County, Florida, setelah menerapkan MBS selama tiga tahun, prestasi murid di sekolah-sekolah dalam kota justru menurun.
Meskipun peningkatan skor tes mungkin dapat dipakai sebagai indikasi langsung kemampuan MBS meningkatkan prestasi belajar murid, cukup banyak pula bukti tidak langsung. Misalnya, sudi kasus yang dilakukan terhadap dua distrik sekolah di Kanada menunjukkan bahwa pengambilan keputusan yang didesentralisasikan menciptakan lingkungan pendidikan yang lebih efektif. Salah seorang guru memutuskan untuk mengurangi penggunaan mesin fotokopi agar dapat mempekerjakan staf tambahan. Tinjauan tahunan sekolah menunjukkan bahwa kepuasan murid sekolah menengah pertama dan lanjutan meningkat terhadap banyak hal setelah diadakannya pembaruan. Para murid menunjukkan adanya peningkatan dalam bidang-bidang penting seperti kegunaan dan efektivitas mata pelajaran dan penekanan sekolah atas sejumlah kecakapan dasar.
Pengambilan keputusan bersama telah meningkatkan kejelasan guru tentang tujuan pengajaran serta metode yang pada gilirannya meningkatkan efektivitas pengajaran. MBS dipandang meningkatkan kepuasan kerja guru, khususnya ketika para guru memainkan peranan yang lebih menentukan ketimbang sekadar memberikan saran. Di Dade County, Florida, studi yang dilakukan menunjukkan bahwa tiga tahun penerapan MBS memberi kontribusi pada terciptanya lingkungan yang lebih nyaman dan lebih sedikit murid yang bermasalah.
Namun, survei yang dilakukan di Chicago menunjukkan bahwa MBS tidak selamanya popular di kalangan guru. Tiga perempat dari seratus orang guru yang disurvei menyatakan bahwa reformasi desentralisasi sekolah di Chicago telah gagal meningkatkan prestasi belajar murid, dan bahkan lebih banyak lagi responden yang menyangkal bahwa perubahan itu telah meningkatkan motivasi guru.

I.         MBS Sebagai Proses Pemberdayaan
Pemberdayaan merupakan istilah yang sangat populer dalam era reformasi. Jika dikaitkan dengan terminologi demokratisasi, pembangkitan ekonomi kerakyatan, keadilan dan penegakan hukum, serta partisipasi politik. Pemberdayaan dimaksudkan untuk mengangkat harkat dan martabat masyarakat dalam perekono­miannya, hak-haknya, dan memiliki posisi yang seimbang dengan kaum lain yang selama ini telah lebih mapan kehiduparrnya. Melalui pemberdayaan, kaum idealis atau para pejuang demokrasi, keadilan, dan hak asasi manusia menginginkan adanya tats kehidupan yang lebih adil, demokratis, serta tegaknya kebenaran dan keadilan.
Pemberdayaan telah merambah pads berbagai bidang dan aspek kehidupan manusia, termasuk pendidikan, antara lain dikeluarkan- nya kebijakan MBS sebagai paradigms barn manajemen pendi­dikan. Manajemen berbasis sekolah merupakan konsep pember­dayaan sekolah dalam rangka peningkatan mutu dan kemandirian sekolah. Dengan MBS diharapkan para kepala sekolah, guru, dan personel lain di sekolah serta masyarakat setempat dapat melak­sanakan pendidikan sesuai dengan kebutuhan, perkembangan zaman, karakteristik lingkungan dan tuntutan global.
Mndervatter (1979) memberikan batasan pemberdayaan sebagai peningkatan pemahamnn manusia untuk meningkatkan kedu­dukannya di masyarakat. Peningkatan kedudukan itu meliputi kondisi-kondisi sebagai berikut:
1.    Akses, memiliki peluang yang cukup besar untuk mendapatkan sumber sumber daya dan sumber dana;
2.    Daya pengungkit, meningkat dalam hal daya tawar kolektifnya;
3.    Pilihan-pilihan, mampu dan memiliki peluang terhadap berbagai pilihan;
4.    Status, meningkan citra diri, kepuasan diri, dan memiliki perasaan yang positif atas identitas budayanya.
5.    Kemampuan refleksi kritis, menggunakan pengalaman untuk mengukur potensi keunggulannya atas berbagai peluang pilihan-pilihan dalam pemecahan masalah;
6.    Legitimasi, ada pertimbangan ahli yang menjadi justifikasi atau yang membenarkan terhadap alasan-alasan rasional atas kebutuhan-kebutuhan masyarakat;
7.    Disiplin, menetapkan sendiri stadar mutu, untuk pekerjaan yang dilakukan untuk orang lain; dan
8.  Persepsi kreatif, sebuah pandangan yang lebih positif dan inovatif terhadap    hubungan dirinya dengan lingkungannya.
Kondisi-kondisi tersebut dapat dipandang sebagai hasil dari proses pemberdayaan. Dengan perkataan lain pemberdayaan dikatakan berhasil jika pada diri halayak sasaran dapat diamati atau dapat menunjukan keadaan permukaan (indikator) sebagaimana tersebut diatas.
Cook dan macaulay (1997) memberikan definisi pemberdayaan sebagai “alat penting untuk memperbaiki kinerja organisasi melalui penyebaran pembuatan keputusan dan tanggung jawab”. Dengan demikian, akan memdorong keterlibatan para pegawai dalam pengambilan keputusan dan tanggung jawab. Dalam dunia pendidikan pemberdayaan ditujukan kepada peserta didik, guru, kepala sekolah dan pegawai administrasi. Sebagai ilustrasi pada sebuah sekolah prestasi belajar para peserta didiknya meningkat tajam karena pihak manajemen (kepala sekolah) memberikan kewenangan yang leluasa kepada para guru untuk mengambil peran dalam dalam pengambilan keputusan-keputusan sehubungan dengan pekerjaannya sehari-hari. Salah satu contohnya adalah guru agama yang diberi kewenangan mengmbil keputusan dan tindakan sehubungan dengan perilaku peserta didik. Hal tersebut menunjukkan para peserta didik merasa puas, dan berusaha menjadi peserta didik yang berprestasi. Dengan kebijakan itu, pengambilan keputusan terdistribusi pada seluruh staf sehingga hal-hal penting yang membutuhkan keputusan dan tindakan cepat tidak harus menuggu keputusan dari manajemen puncak (kepala sekolah).
Dalam dunia pendidikan, pemberdayaan merupakan cara yang sangat praktis dan produktif untuk mendapatkan hasil yang terbaik dari kepala sekolah (manajer), para guru, dan para pegawai. Proses yang ditempuh untuk mendapatkan hasil terbaik dan produktif tersebut adalah dengan membagi tanggung jawab secara proporsional kepada para guru. Satu prinsip terpenting dalam pemberdayaan ini adalah melibatkan guru dalam proses pengambilan keputusan dan tanggung jawab. Melalui proses pemberdayaan itu diharapkan para guru memiliki kepercayaan diri (self-reliance).
Dalam MBS, pemberdayaan dimaksudkan untuk memperbaiki kinerja sekolah agar dapat mencapai tujuan secara optimal, efektif, dan efisien. Pada sisi lain, untuk memberdayakan sekolah harus pula ditempuh upaya-upaya memberdayakan peserta didik dan masyarakat setempat, disamping mengubah paradigm pendidikanyang dimiliki oleh para guru dan kepala sekolah. Para guru dan kepala sekolah perlu lebih dahulu tahu, memahami akan hakikat, manfaat, dan proses pemberdayaan peserta didik. MBS sebagai proses pemberdayaan merupakan cara untuk membangkitkan kemauan dan potensi peserta didik agar memiliki kemampuan mengontrol diri dan lingkungannya untuk dimanfaatkan bagi kepentingan peningkatan kesejahteraan.
Pada dasarnya pemberdayaan terjadi melalui beberapa tahap. Pertama, masyarakat mengembangkan sebuah kesadaran awal bahwa mereka dapat melakukan tindakan untuk meningkatkan kehidupannya dan memperoleh seperangkat kepentingan agar mampu bekerja lebih baik. Melalui tahap tersebut, pada tahap kedua, mereka akan mengalami pengurangan perasaan ketidakmampuan dan mengalami peningkatan kepercayaan diri. Akhirnya, ketiga, seiring dengan tumbuhnya keterampilan dan kepercayaan diri, masyarakat bekerja sama untuk berlatih lebih banyak mengambil keputusan dan memilih sumber-sumber daya yang akan berdampak pada kesejahteraan mereka.
Sedikitnya terdapat delapan langkah pemberdayaan, dalam kaitannya dengan MBS, yaitu (1) menyusun kelompok guru sebagai penerima awal atas rencana program pemberdayaan; (2) mengidentifikasi dan membangun kelompok peserta didik di sekolah; (3) memilih dan melatih guru dan tokoh masyarakat yang terlibat secara langsung dalam implementasi manajemen berbasis sekolah; (4) membentuk dewan sekolah, yang terdiri dari unsure sekolah, unsure masyarakat di bawah pengawasan pemerintah daerah; (5) menyelenggarakan pertemuan-pertemuan para anggota dewan sekolah; (6)mendukung aktifitas kelompok yang tengah berjalan; (7) mengembangkan hubungan yang harmonis antara sekolah dan masyarakat; (8) menyelenggarakan lokakarya untuk evaluasi.
Untuk dapat memahami dan menerapkan MBS sebagai proses pemberdayaan terdapat beberapa hal yang perlu mendapat perhatian, seperti dijelaskan berikut ini:
1.         Penberdayaan hubungan dengan upaya peningkatan kemampuan masyarakat untuk memegang kontrol (atas diri dan lingkungannya); dari konsep itu perlu dilakukan upaya yang memperhatikan prinsip-prinsip, (a)melakukan pembangunan yang bersifat local, (b) mengutamakan dan merupakan aksi social, (c) menggunakan pendekatan organisasi kemasyarakatan setempat.
2.         Adanya kesamaan dan kesepadanan kedudukan dalam hubungan kerja; dari konsepsi itu perlu dilakukan upaya yang memperhatikan prinsip-prinsip, (a) manajemen yang swakelola oleh para guru dan kepala sekolah, (b) kepemilkian oleh masyarakat (tumbuhnya rasa memiliki pada masyarakat terhadap program sekolah), (c) pemantauan langsung oleh pemerintah daerah, (d) tumbuhnya rasa kebersamaan (collectives), (e) bekerja secara kolaborasi antara berbagai pihak yang berkepentingan dengan sekolah, baik dari pihak sekolah, masyarakat, pemerintah, lembaga swasta maupun pihak-pihak lain.
3.         menggunakan pendekatan partisipatif. Dari konsepsi tersebut beberapa prinsip yang perlu diaktualisasikan adalah (a) merumuskan tujuan bersama, antara sekolah dan masyarakat; (b) menyikapi proses peluncuran program MBS sebagai sebuah proses dialog, dan (c) melakukan pembangunan sendiri.
4.         Pendidikan untuk keadilan, dari konsepsi itu beberapa prinsip yang perlu diimplementasikan adalah (a) mengembangkan kesan kritis; (b) menggunakan metode diskusi dalam kelompok kecil; (c) menggunakan stimulus berupa masalah-masalah; (d) menggunakan sarana, seperti permainan, sebagai alat untuk membantu masyarakat melihat kembali dan membuat refleksi tentang realitas yang dihadapi; (e) memusatkan perhatian pada pengembangan system social daripada individu-individu; (f) mengutamakan penyelesaian konflik secara menang-menang (win-win solution); (g) menjalin hubungan antarmanusia yang bersifat non-hierarkhis, termasuk melalui dialog dan pembagian kepemimpinan; dan (h) menggunakan fasilitator yang komit terhadap pembebasan.
Keempat hal tersebut merupakan ciri proses pemberdayaan, yang meliputi (a) community organization, (b) self-management and collaboration, (c) participatory approaches, dan (d) education far justice. Ciri-ciri inilah yang merupakan tahapan dasar dalam MBS. Berikut rincian ungkapan karakteristik pemberdayaan Kindervatter (1979) yang disebutnya dalam bahasa orang awam (commonalities).
1.         Penyusunan kelompok kecil; pemberdayaan menekankan aktivitas dalam kelompok kecil yang mandiri. Kelompok-kelompok yang tumbuh secara alamiah barangkali akan menguat atau terbentuk dengan basis interes-interes masyarakat. Koalisi juga perlu dibentuk di antara para anggota kelompok.
2.         Pengalihan tanggung jawab; dalam manajeen berbasis sekolah terjadi pengalihan dari pemerintah kepada sekolah untuk memberdayakan diri dan lingkungannya. Dalam tahap-tahap awal kegiatan, masyarakat barangkali agak malas atau enggan untuk terlibat. Namun, pengalaman yang positif akan menanggulangi kemalasan tersebut.
3.         Pimpinan oleh para partisipan; dengan latihan mengontrol atau mengambil keputusan dalam tingkat yang tinggi (akan) mendorong semua aspek aktivitas organisasi. Kepemimpinan dan pemimpin akan muncul secara alamiah atau dengan dipilih oleh masyarakat sendiri.
4.         Guru sebagai fasilitator; guru sebagai fasilitator merupakan pembimbing proses, orang sumber, orang yang menunjukkan dan mengenalkan kepada peserta didik tentang masalah-masalah yang dihadapi. Komitmen guru dan kepala sekolah sebagai fasilator adalah terhadap keberhasilan tujuan pemberdayaan dan melaksanakan peran besarnya sebagai pendukung masyarakat agar bisa bekerja secara mandiri .
5.         Proses bersifat demokratis dan hubungan kerja yang luwes; segala sesuatu dalam manajemen berbasis sekolah dirundingkan bersama dalam kedudukan yang sedeajat dan diputuskan melalui pemungutan suara atau musyawarah (konsensus). Peranaan dan tanggung jawab dibagi merata. Dalam beberapa kasus, partisipan tidak tahu bagaimana bertingkah laku secara kooperatif dan demokratis. Namun, hal itu akan diperolehnya melalui belajar.
6.         Merupakan integrasi antara refleksi dan aksi; pengalaman dan masalah-masalah yang dimiliki para partisipan akan menghasilkan focus. Analisis terhadap aksi dan reaksi secara bersama mendorong ke arah perubahan yang melibatkan setiap orang pada berbagai resiko pemecahan masalah, perencanaan, pengembangkan ketrampilan dan pertentangan.
7.          Metode yang mendorong kepercayaan diri; metode yang digunakan bersifat meningkatkan keterlibatan aktif, dialog, dan aktivitas kelompok secara mandiri.
8.         Meningkatkan derajat kemandirian social, ekonomi dan politik sebagai hasil proses pemberdayaan kedudukan patisipan dalam masyarakat meningkat dalam hal-hal khusus tertentu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar