A. Pengertian Manajemen Sekolah
Istilah
manajemen sekolah acapkali disandingkan dengan istilah administrasi sekolah.
Berkaitan dengan itu, terdapat tiga pandangan berbeda; pertama, mengartikan
administrasi lebih luas dari pada manajemen (manajemen merupakan inti dari
administrasi); kedua, melihat manajemen lebih luas dari pada administrasi (
administrasi merupakan inti dari manajemen); dan ketiga yang menganggap bahwa
manajemen identik dengan administrasi.
Dalam
makalah ini, istilah manajemen diartikan sama dengan istilah administrasi atau
pengelolaan, yaitu segala usaha bersama untuk mendayagunakan sumber-sumber,
baik personal maupun material, secara efektif dan efisien guna menunjang
tercapainya tujuan pendidikan di sekolah secara optimal.
Berdasarkan
fungsi pokoknya, istilah manajemen dan administrasi mempunyai fungsi yang sama,
yaitu:
1. merencanakan
(planning),
2. mengorganisasikan
(organizing),
3. mengarahkan
(directing),
4. mengkoordinasikan
(coordinating),
5. mengawasi
(controlling), dan
6. mengevaluasi
(evaluation).
Menurut
Gaffar (1989) mengemukakan bahwa manjemen pendidikan mengandung arti sebagai
suatu proses kerja sama yang sistematik, sitemik, dan komprehensif dalam rangka
mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
B. Manajemen berbasis sekolah
Sejak
beberapa waktu terakhir, kita dikenalkan dengan pendekatan “baru” dalam
manajemen sekolah yang diacu sebagai manajemen berbasis sekolah (school based
management) atau disingkat MBS. Di mancanegara, seperti Amerika Serikat,
pendekatan ini sebenarnya telah berkembang cukup lama. Pada 1988 American
Association of School
Administrators,
National Association of Elementary School Principals, and National Association
of Secondary School Principals, menerbitkan dokumen berjudul school based
management, a strategy for better learning. Munculnya gagasan ini dipicu oleh
ketidakpuasan atau kegerahan para pengelola pendidikan pada level operasional
atas keterbatasan kewenangan yang mereka miliki untuk dapat mengelola sekolah
secara mandiri.
Umumnya
dipandang bahwa para kepala sekolah merasa tak berdaya karena terperangkap
dalam ketergantungan berlebihan terhadap konteks pendidikan. Akibatnya, peran
utama mereka sebagai pemimpin pendidikan semakin dikerdilkan dengan rutinitas
urusan birokrasi yang menumpulkan kreativitas berinovasi.
Di
Indonesia, gagasan penerapan pendekatan ini muncul belakangan sejalan dengan
pelaksanaan otonomi daerah sebagai paradigma baru dalam pengoperasian sekolah.
Selama ini, sekolah hanyalah kepanjangan tangan birokrasi pemerintah pusat untuk
menyelenggarakan urusan politik pendidikan. Para pengelola sekolah sama sekali
tidak memiliki banyak kelonggaran untuk mengoperasikan sekolahnya secara
mandiri. Semua kebijakan tentang penyelenggaran pendidikan di sekolah umumnya
diadakan di tingkat pemerintah pusat atau sebagian di instansi vertikal dan
sekolah hanya menerima apa adanya.
Apa saja
muatan kurikulum pendidikan di sekolah adalah urusan pusat, kepala sekolah dan
guru harus melaksanakannya sesuai dengan petunjuk pelaksanaan dan petunjuk
teknisnya. Anggaran pendidikan mengalir dari pusat ke daerah menelusuri saluran
birokrasi dengan begitu banyak simpul yang masing-masing menginginkan bagian.
Tidak heran jika nilai akhir yang diterima di tingkat paling operasional telah
menyusut lebih dari separuhnya.
Kita
khawatir, jangan-jangan selama ini lebih dari separuh dana pendidikan
sebenarnya dipakai untuk hal-hal yang sama sekali tidak atau kurang berurusan
dengan proses pembelajaran di level yang paling operasional, sekolah.
MBS adalah
upaya serius yang rumit, yang memunculkan berbagai isyu kebijakan dan
melibatkan banyak lini kewenangan dalam pengambilan keputusan serta tanggung
jawab dan akuntabilitas atas konsekuensi keputusan yang diambil. Oleh sebab
itu, semua pihak yang terlibat perlu memahami benar pengertian MBS, manfaat,
masalah-masalah dalam penerapannya, dan yang terpenting adalah pengaruhnya
terhadap prestasi belajar murid.
Manajemen berbasis sekolah dapat bermakna adalah desentralisasi yang sistematis pada otoritas dan tanggung jawab tingkat sekolah untuk membuat keputusan atas masalah signifikan terkait penyelenggaraan sekolah dalam kerangka kerja yang ditetapkan oleh pusat terkait tujuan, kebijakan, kurikulum, standar, dan akuntabilitas. Tampaknya pemerintah dari setiap negara ingin melihat adanya transformasi sekolah. Transformasi diperoleh ketika perubahan yang signifikan, sistematik, dan berlanjut terjadi, mengakibatkan hasil belajar siswa yang meningkat di segala keadaan (setting), dengan demikian memberikan kontribusi pada kesejahteraan ekonomi dan sosial suatu negara. Manajemen berbasis sekolah selalu diusulkan sebagai satu strategi untuk mencapai transformasi sekolah.
Manajemen berbasis sekolah dapat bermakna adalah desentralisasi yang sistematis pada otoritas dan tanggung jawab tingkat sekolah untuk membuat keputusan atas masalah signifikan terkait penyelenggaraan sekolah dalam kerangka kerja yang ditetapkan oleh pusat terkait tujuan, kebijakan, kurikulum, standar, dan akuntabilitas. Tampaknya pemerintah dari setiap negara ingin melihat adanya transformasi sekolah. Transformasi diperoleh ketika perubahan yang signifikan, sistematik, dan berlanjut terjadi, mengakibatkan hasil belajar siswa yang meningkat di segala keadaan (setting), dengan demikian memberikan kontribusi pada kesejahteraan ekonomi dan sosial suatu negara. Manajemen berbasis sekolah selalu diusulkan sebagai satu strategi untuk mencapai transformasi sekolah.
Manajemen
berbasis sekolah telah dilembagakan di tempat-tempat seperti Inggris, dimana
lebih dari 25.000 sekolah telah mempraktikkannya lebih dari satu dekade. Atau
seperti Selandia Baru atau Victoria, Australia atau di beberapa sistem sekolah
yang besar) di Kanada dan Amerika Serikat, dimana terdapat pengalaman sejenis
selama lebih dari satu dekade. Praktik manajemen berbasis sekolah di
tempat-tempat ini tampaknya tidak dapat dilacak mundur. Satu indikasi skala dan
lingkup minat terhadap manajemen berbasis sekolah diagendakan pada Pertemuan
Menteri-menteri Pendidikan dari Negara APEC di Chili pada April 2004. APEC
(Asia Pacific Economic Cooperation) merupakan satu jejaring 21 negara yang
mengandung sepertiga dari populasi dunia. Tema dari pertemuan adalah “mutu
dalam pendidikan” dan tata kelola merupakan satu dari empat sub tema. Perhatian
khusus diarahkan pada desentralisasi. Para menteri sangat menyarankan (endorse)
manajemen berbasis sekolah sebagai satu strategi dalam reformasi pendidikan,
tatapi juga menyetujui aspek-aspek sentralisasi, seperti kerangka kerja bagi
akuntabilitas. Mereka mengakui bahwa pengaturannya akan bervariasi di
masing-masing negara, yang merefleksikan keunikan tiap-tiap setting.
Manajemen
berbasis sekolah memiliki banyak bayangan makna. Ia telah diimplementasikan
dengan cara yang berbeda dan untuk tujuan berbeda dan pada laju yang berbeda di
tempat yang berbeda. Bahkan konsep yang lebih mendasar dari “sekolah” dan
“manajemen” adalah berbeda, seperti berbedanya budaya dan nilai yang melandasi
upaya-upaya pembuat kebijakan dan praktisi. Akan tetapi, alasan yang sama di
seluruh tempat dimana manajemen berbasis sekolah diimplementasikan adalah bahwa
adanya peningkatan otoritas dan tanggung jawab di tingkat sekolah, tetapi masih
dalam kerangka kerja yang ditetapkan di pusat untuk memastikan bahwa satu makna
sistem terpelihara. Satu
implikasi penting adalah bahwa para pemimpin sekolah harus memiliki kapasitas
membuat keputusan terhadap hal-hal signifikan terkait operasi sekolah dan
mengakui dan mengambil unsur-unsur yang ditetapkan dalam kerangka kerja pusat
yang berlaku di seluruh sekolah.
C. Manfaat manajemen berbasis sekolah
(MBS
MBS dipandang sebagai alternatif dari pola umum
pengoperasian sekolah yang selama ini memusatkan wewenang di kantor pusat dan
daerah. MBS adalah strategi untuk meningkatkan pendidikan dengan mendelegasikan
kewenangan pengambilan keputusan penting dari pusat dan dearah ke tingkat
sekolah. Dengan demikian, MBS pada dasarnya merupakan sistem manajemen di mana
sekolah merupakan unit pengambilan keputusan penting tentang penyelenggaraan
pendidikan secara mandiri. MBS memberikan kesempatan pengendalian lebih besar
bagi kepala sekolah, guru, murid, dan orang tua atas proses pendidikan di
sekolah mereka.
Dalam pendekatan ini, tanggung jawab pengambilan
keputusan tertentu mengenai anggaran, kepegawaian, dan kurikulum ditempatkan di
tingkat sekolah dan bukan di tingkat daerah, apalagi pusat. Melalui
keterlibatan guru, orang tua, dan anggota masyarakat lainnya dalam
keputusan-keputusan penting itu, MBS dipandang dapat menciptakan lingkungan
belajar yang efektif bagi para murid. Dengan demikian, pada dasarnya MBS adalah
upaya memandirikan sekolah dengan memberdayakannya.
Para pendukung MBS berpendapat bahwa prestasi belajar
murid lebih mungkin meningkat jika manajemen pendidikan dipusatkan di sekolah
ketimbang pada tingkat daerah. Para kepala sekolah cenderung lebih peka dan
sangat mengetahui kebutuhan murid dan sekolahnya ketimbang para birokrat di
tingkat pusat atau daerah. Lebih lanjut dinyatakan bahwa reformasi pendidikan
yang bagus sekalipun tidak akan berhasil jika para guru yang harus
menerapkannya tidak berperanserta merencanakannya.
Para pendukung MBS menyatakan bahwa pendekatan ini
memiliki lebih banyak maslahatnya ketimbang pengambilan keputusan yang
terpusat. Maslahat itu antara lain menciptakan sumber kepemimpinan baru, lebih
demokratis dan terbuka, serta menciptakan keseimbangan yang pas antara anggaran
yang tersedia dan prioritas program pembelajaran. Pengambilan keputusan yang
melibatkan semua pihak yang berkepentingan meningkatkan motivasi dan komunikasi
(dua variabel penting bagi kinerja guru) dan pada gilirannya meningkatkan
prestasi belajar murid. MBS bahkan dipandang sebagai salah satu cara untuk
menarik dan mempertahankan guru dan staf yang berkualitas tinggi.
Penerapan MBS yang efektif secara spesifik
mengidentifikasi beberapa manfaat spesifik dari penerapan MBS sebagai berikut :
1.
Memungkinkan orang-orang yang
kompeten di sekolah untuk mengambil keputusan yang akan meningkatkan
pembelajaran.
2.
Memberi peluang bagi seluruh anggota sekolah
untuk terlibat dalam pengambilan keputusan penting.
3.
Mendorong munculnya kreativitas dalam
merancang bangun program pembelajaran.
4.
Mengarahkan kembali sumber daya yang
tersedia untuk mendukung tujuan yang dikembangkan di setiap sekolah.
5.
Menghasilkan rencana anggaran yang lebih
realistik ketika orang tua dan guru makin menyadari keadaan keuangan sekolah,
batasan pengeluaran, dan biaya program-program sekolah.
6.
Meningkatkan motivasi guru dan mengembangkan
kepemimpinan baru di semua level.
D. Tujuan MBS
Manajemen berbasis sekolah (MBS) merupakan salah satu upaya pemerintah
untuk mencapai keunggulan masyarakat bangsa dalam penguasaan ilmu dan
teknologi, yang dinyatakan dalam GBHN. Hal tersebut diharapkan dapat dijadikan
landasan dalam pengembangan pendidikan di Indonesia yang berkualitas dan
berkelanjutan, baik secara makro, meso, maupun mikro.
MBS, yang ditandai dengan otonomi sekolah dan pelibatan masyarakat
merupakan respons pemerintah terhadap gejala-gejala yang muncul di masyarakat,
bertujuan untuk meningkatkan efisiensi, mutu, dan pemerataan pendidikan.
Peningkatan efisiensi, antara lain, diperoleh melalui keleluasaan mengelola
sumber daya partisipasi masyarakat dan penyederhanaan birokrasi. Sementara
peningkatan mutu dapat diperoleh, antara lain, melalui partisipasi orang tua
terhadap sekolah, fleksibilitas pengelolaan sekolah dan k elas, peningkatan
profesionalisme guru dan kepala sekolah, berlakunya system insentif serta
disinsetif. Peningkatan pemerataan antara lain diperoleh melalui peningkatan
partisipasi masyarakat yang memungkinkan pemerintah lebih brkonsentrasi pada kelompok
tertentu. Hal ini dimungkinkan karena pada sebagian masyarakat tumbuh rasa
kepemilikan yang tinggi terhadap sekolah.
E. Syarat Penerapan manajemen berbasis
sekolah (MBS)
Sejak awal,
pemerintah (pusat dan daerah) haruslah suportif atas gagasan MBS. Mereka harus
mempercayai kepala sekolah dan dewan sekolah untuk menentukan cara mencapai
sasaran pendidikan di masing-masing sekolah. Penting artinya memiliki
kesepakatan tertulis yang memuat secara rinci peran dan tanggung jawab dewan
pendidikan daerah, dinas pendidikan daerah, kepala sekolah, dan dewan sekolah.
Kesepakatan itu harus dengan jelas menyatakan standar yang akan dipakai sebagai
dasar penilaian akuntabilitas sekolah. Setiap sekolah perlu menyusun laporan
kinerja tahunan yang mencakup “seberapa baik kinerja sekolah dalam upayanya
mencapai tujuan dan sasaran, bagaimana sekolah menggunakan sumber dayanya, dan
apa rencana selanjutnya.”
Perlu
diadakan pelatihan dalam bidang-bidang seperti dinamika kelompok, pemecahan
masalah dan pengambilan keputusan, penanganan konflik, teknik presentasi,
manajemen stress, serta komunikasi antarpribadi dalam kelompok. Pelatihan ini
ditujukan bagi semua pihak yang terlibat di sekolah dan anggota masyarakat,
khususnya pada tahap awal penerapan MBS. Untuk memenuhi tantangan pekerjaan,
kepala sekolah kemungkinan besar memerlukan tambahan pelatihan kepemimpinan.
1)
Dengan kata lain, penerapan MBS
mensyaratkan yang berikut.
MBS harus mendapat dukungan staf sekolah.
MBS harus mendapat dukungan staf sekolah.
2)
MBS lebih mungkin berhasil jika diterapkan
secara bertahap.
Kemungkinan diperlukan lima tahun atau lebih untuk menerapkan MBS secara berhasil.
Kemungkinan diperlukan lima tahun atau lebih untuk menerapkan MBS secara berhasil.
3)
Staf sekolah dan kantor dinas harus memperoleh
pelatihan penerapannya, pada saat yang sama juga harus belajar menyesuaikan
diri dengan peran dan saluran komunikasi yang baru.
4)
Harus disediakan dukungan anggaran untuk
pelatihan dan penyediaan waktu bagi staf untuk bertemu secara teratur.
5)
Pemerintah pusat dan daerah harus
mendelegasikan wewenang kepada kepala sekolah, dan kepala sekolah selanjutnya
berbagi kewenangan ini dengan para guru dan orang tua murid.
F. Hambatan Dalam Penerapan manajemen
berbasis sekolah (MBS)
Beberapa
hambatan yang mungkin dihadapi pihak-pihak berkepentingan dalam penerapan MBS
adalah sebagai berikut :
1.
Tidak Berminat Untuk Terlibat Sebagian
orang tidak menginginkan kerja tambahan selain pekerjaan yang sekarang mereka
lakukan. Mereka tidak berminat untuk ikut serta dalam kegiatan yang menurut
mereka hanya menambah beban. Anggota dewan sekolah harus lebih banyak
menggunakan waktunya dalam hal-hal yang menyangkut perencanaan dan anggaran.
Akibatnya kepala sekolah dan guru tidak memiliki banyak waktu lagi yang tersisa
untuk memikirkan aspek-aspek lain dari pekerjaan mereka. Tidak semua guru akan
berminat dalam proses penyusunan anggaran atau tidak ingin menyediakan waktunya
untuk urusan itu.
2.
Tidak Efisien
Pengambilan keputusan yang dilakukan secara
partisipatif adakalanya menimbulkan frustrasi dan seringkali lebih lamban
dibandingkan dengan cara-cara yang otokratis. Para anggota dewan sekolah harus
dapat bekerja sama dan memusatkan perhatian pada tugas, bukan pada hal-hal lain
di luar itu.
3.
Pikiran Kelompok
Setelah beberapa saat bersama, para anggota dewan
sekolah kemungkinan besar akan semakin kohesif. Di satu sisi hal ini berdampak
positif karena mereka akan saling mendukung satu sama lain. Di sisi lain,
kohesivitas itu menyebabkan anggota terlalu kompromis hanya karena tidak merasa
enak berlainan pendapat dengan anggota lainnya. Pada saat inilah dewan sekolah
mulai terjangkit “pikiran kelompok.” Ini berbahaya karena keputusan yang
diambil kemungkinan besar tidak lagi realistis.
4.
Memerlukan Pelatihan
Pihak-pihak yang berkepentingan kemungkinan besar sama
sekali tidak atau belum berpengalaman menerapkan model yang rumit dan
partisipatif ini. Mereka kemungkinan besar tidak memiliki pengetahuan dan
keterampilan tentang hakikat MBS sebenarnya dan bagaimana cara kerjanya,
pengambilan keputusan, komunikasi, dan sebagainya.
5.
Kebingungan Atas Peran dan Tanggung
Jawab Baru
Pihak-pihak yang terlibat kemungkinan besar telah
sangat terkondisi dengan iklim kerja yang selama ini mereka geluti. Penerapan
MBS mengubah peran dan tanggung jawab pihak-pihak yang berkepentingan.
Perubahan yang mendadak kemungkinan besar akan menimbulkan kejutan dan
kebingungan sehingga mereka ragu untuk memikul tanggung jawab pengambilan
keputusan.
6.
Kesulitan Koordinasi
Setiap penerapan model yang rumit dan mencakup
kegiatan yang beragam mengharuskan adanya koordinasi yang efektif dan efisien.
Tanpa itu, kegiatan yang beragam akan berjalan sendiri ke tujuannya
masing-masing yang kemungkinan besar sama sekali menjauh dari tujuan sekolah.
Apabila pihak-pihak yang berkepentingan telah
dilibatkan sejak awal, mereka dapat memastikan bahwa setiap hambatan telah
ditangani sebelum penerapan MBS. Dua unsur penting adalah pelatihan yang cukup
tentang MBS dan klarifikasi peran dan tanggung jawab serta hasil yang
diharapkan kepada semua pihak yang berkepentingan. Selain itu, semua yang
terlibat harus memahami apa saja tanggung jawab pengambilan keputusan yang dapat
dibagi, oleh siapa, dan pada level mana dalam organisasi.
Anggota masyarakat sekolah harus menyadari bahwa
adakalanya harapan yang dibebankan kepada sekolah terlalu tinggi. Pengalaman
penerapannya di tempat lain menunjukkan bahwa daerah yang paling berhasil
menerapkan MBS telah memfokuskan harapan mereka pada dua maslahat: meningkatkan
keterlibatan dalam pengambilan keputusan dan menghasilkan keputusan lebih baik.
G. Faktor-Faktor yang
Perlu Diperhatikan
BPPN
bekerjasama dengan Bank Dunia (1999) telah mengkaji beberapa faktor yang perlu
diperhatikan sehubungan dengan manajemen berbasis sekolah. Faktor-faktor
tersebut berkaitan dengan kewajiban sekolah, kebijakan dan prioritas
pemerintah, peranan orang tua dan masyarakat, peranan profesionalisme dan manajerial,
serta pengembangan profesi.
a)
Kewajiban Sekolah
Manajemen berbasis sekolah yang menawarkan keleluasaan
pengelolaan sekolah memiliki potensi yang besar dalam menciptakan kepala
sekolah, guru, dan pengelola sistem pendidikan profesional. Oleh karena itu ,
pelaksanaanya perlu disertai seperangkat kewajiban, serta monitoring dan
tuntutan pertanggung jawaban (akuntabel) yang relatif tinggi, untuk menjamin
bahwa sekolah selain memiliki otonomi juga mempunyai kewajiban melaksanakan
kebijakan pemerintah dan memenuhi harapan masyarakat sekolah. Dengan demikian ,
sekolah dituntut mampu menampilkan pengelolaan sumber daya secara transparan ,
demokratis, tanpa monopoli , dan bertanggung jawab baik terhadap masyarakat
maupun pemerintah , dalam rangga meningkatkan kapasitas pelayanan terhadap
peserta didik.
b)
Kebijakan dan Prioritas
Pemerintah
Pemerintah sebagai penanggung jawab
pendidikan nasional berhak merumuskan kebijakan yang menjadi prioritas nasional
terutama yang berkaitan dengan program peningkatan peningkatan huruf dan angka,
efisiensi , mutu, dan pemerataan pendidikan.
Dalam hal-hal tersebut ,sekolah tidak
diperbolehkan untuk berjalan sendiri dengan mengabaikan kebijakan dan standar
yang ditetapkan oleh pemerintah yang dipilih secara demokratis.
Agar prioritas-prioritas pemerintah
dilaksanakan oleh sekolah dan semua aktivitas sekolah ditunjukan untuk
memberikan pelayanan kepada peserta didik sehingga dapat belajar dengan baik,
pemerintah perlu merumuskan seperangkat pedoman umum tentang pelaksanaan MBS.
Pedoman-pedoman tersebut , terutama , di tunjukan untuk menjamin bahwa hasil
pendidikan terevalusi dengan baik, kebijakan-kebijakan pemerintah dilaksanakan
secara efektif, sekolah di operasikan dan kerangka yang disetujui pemerintah,
dan anggaran dibelanjakan sesuai dengan tujuan.
c)
Peranan Orangtua dan
Masyarakat
MBS menuntut dukungan tenaga kerja yang
terampil dan berkualitas untuk membangkitkan motivasi kerja yang lebih
produktif dan memberdayakan otoritas daerah setempat, serta mengefisienkan
sistem dan menghilangkan birokrasi yang tumpah tindih.
Untuk kepentingan tersebut, diperlukan
partisipasi masyarakat, dan hal ini merupakan salah satu aspek penting dalar
manajemen berbasis- sekolah. Melalui dewan sekolah (school council), orang tua dan masyarakat dapat berpartisipasi
dalam pembuatan berbagai keputusan. Dengan demikian, masyarakat dapat lebih
memahami, serta mengawasi dan membantu sekolah dalam pengelolaan termasuk
kegiatan belajar-mengajar. Besarnya partisipasi masyarakat dalam pengelolaan
sekolah tersebut, mungkin dapat menimbulkan rancunya kepentingan antara
sekolah, orang tua, dan masyarakat. Dalam hal ini pemerintah perlu merumuskan
bentuk partisipasi (pembagian tugas) setiap unsur secara jelas dan tegas.
d.
Peranan Profesionalisme dan Manajerial
Manajemen
berbasis sekolah menuntut perubahan-perubahan tingkah laku kepala sekolah,
guru, dan tenaga administrasi dalam mengoperasikan sekolah. Pelaksanaan MBS
berpotensi meningkatkan gesekan peranan yang bersifat profesional dan
manajerial. Untuk memenuhi persyaratan pelaksanaan MBS, kepala sekolah, guru,
dan tenaga administrasi harus memiliki kedua sifat tersebut, yaitu profesional
dan manajerial. Mereka harus memiliki pengetahuan yang dalam tentang peserta
didik dan prinsip-prinsip pendidikan untuk 'menjamin bahwa segala keputusan
penting yang dibuat oleh sekolah, didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan
pendidikan. Kepala sekolah khususnya, perlu mempelajari dengan teliti, baik
kebijakan dan prioritas pemerintah maupun prioritas sekolah sendiri. Untuk
kepentingan tersebut, kepala sekolah harus:
1)
Memiliki kemampuan untuk berkolaborasi
dengan guru dan masyarakat sekitar sekolah
2)
Memiliki pemahaman dan wawasan yang luas tentang teori pendidikan dan
pembelajaran;
3)
Memiliki kemampuan dan keterampilan
untuk menganalisis situasi sekarang berdasarkan apa yang seharusnya serta mampu
memperkirakan kejadian di masa depan berdasarkan sititasi sekarang;
4) Memiliki kemauan dan kemampuan untuk
mengidentifikasi masalah dan kebutuhan yang berkaitan dengan efektivitas
pendidikan di sekolah, dan
5) Mampu memanfaatkan berbagai peluang,
menjadikan tantangan sebagai peluang, sema mengkonseptualkan arah baru untuk
perubahan.
Pemahaman
terhadap sifat profesional dan manajerial tersebut sangat penting agar peningkatan
efisiensi, mutu, dan pemerataan serta supervise dan monitoring yang
direncanakan sekolah betul-betul untuk mencapai tujuan pendidikan sesuai
dengan kerangka kebijakan pemerintah dan tujuan sekolah.
e. Pengembangan Profesi
Dalam
MBS pemerintah harus menjamin bahwa semua unsur penting tenaga kependidikan
(sumber manusia) menerima pengembangan profesi yang diperlukan untuk mengelola
sekolah secara efektif. Agar sekolah dapat mengambil manfaat yang ditawarkan
MBS, perlu dikembangkan adanya pusat pengembangan profesi, yang berfungsi
sebagai penyedia jasa pelatihan bagi tenaga kependidikan untuk MBS. Selain
itu, penting untuk dicatat bahwa sebaiknya sekolah dan masyarakat perlu
dilibatkan dalam proses pelaksanaan MBS sedini mungkin. Mereka tidak perlu
hanya menunggu, tetapi melibatkan diri dalam diskusi-diskusi tentang MBS dan
berinisiatif untuk menyelenggarakan pelatihan tentang aspek-aspek yang terkait.
H. Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
yang berhubungan Prestasi Belajar Murid
MBS merupakan salah satu gagasan yang diterapkan untuk
meningkatkan pendidikan umum. Tujuan akhirnya adalah meningkatkan lingkungan
yang kondusif bagi pembelajaran murid. Dengan demikian, ia bukan sekadar cara
demokratis melibatkan lebih banyak pihak dalam pengambilan keputusan.
Keterlibatan itu tidak berarti banyak jika keputusan yang diambil tidak
membuahkan hasil lebih baik.Kita belum memiliki pengalaman untuk mengaitkan
penerapan MBS dengan prestasi belajar murid.
Di Amerika Serikat (David Peterson, ERIC_Digests,
2002) upaya mengaitkan MBS dengan prestasi belajar murid masih problematis.
Belum banyak penelitian kuantitatif yang telah dilakukan dalam topik ini.
Selain itu, masih diragukan apakah benar penerapan MBS berkaitan dengan
prestasi murid. Boleh jadi masih banyak faktor lain yang mungkin mempengaruhi
prestasi itu setelah diterapkannya MBS. Masalah penelitian ini makin diperparah
dengan tiadanya definisi standar mengenai MBS. Studi yang dilakukan tidak
selamanya mengindikasikan sejauhmana sekolah telah mendistribusikan kembali
wewenangnya.
Salah satu studi yang dilakukan yang menelaah ratusan
dokumen justru menunjukkan bahwa dalam banyak contoh, MBS tidak mencapai tujuan
yang ditetapkan. Studi itu menunjukkan bahwa peningkatan prestasi murid tampaknya
hanya terjadi di sejumlah sekolah yang dijadikan pilot studi dan dalam jangka
waktu tidak lama pula.
Hasil MBS di daerah perkotaan masih belum jelas benar.
Di sekolah di daerah pingiran kota Maryland menunjukkan adanya peningkatan
prestasi murid dalam skor tes terutama di kalangan orang Amerika keturunan
Afrika, setelah menerapkan lima langkah rencana reformasi, termasuk MBS. Namun,
di tempat lain, seperti Dade County, Florida, setelah menerapkan MBS selama
tiga tahun, prestasi murid di sekolah-sekolah dalam kota justru menurun.
Meskipun peningkatan skor tes mungkin dapat dipakai
sebagai indikasi langsung kemampuan MBS meningkatkan prestasi belajar murid,
cukup banyak pula bukti tidak langsung. Misalnya, sudi kasus yang dilakukan
terhadap dua distrik sekolah di Kanada menunjukkan bahwa pengambilan keputusan
yang didesentralisasikan menciptakan lingkungan pendidikan yang lebih efektif.
Salah seorang guru memutuskan untuk mengurangi penggunaan mesin fotokopi agar
dapat mempekerjakan staf tambahan. Tinjauan tahunan sekolah menunjukkan bahwa
kepuasan murid sekolah menengah pertama dan lanjutan meningkat terhadap banyak
hal setelah diadakannya pembaruan. Para murid menunjukkan adanya peningkatan
dalam bidang-bidang penting seperti kegunaan dan efektivitas mata pelajaran dan
penekanan sekolah atas sejumlah kecakapan dasar.
Pengambilan keputusan bersama telah meningkatkan
kejelasan guru tentang tujuan pengajaran serta metode yang pada gilirannya
meningkatkan efektivitas pengajaran. MBS dipandang meningkatkan kepuasan kerja
guru, khususnya ketika para guru memainkan peranan yang lebih menentukan
ketimbang sekadar memberikan saran. Di Dade County, Florida, studi yang
dilakukan menunjukkan bahwa tiga tahun penerapan MBS memberi kontribusi pada
terciptanya lingkungan yang lebih nyaman dan lebih sedikit murid yang
bermasalah.
Namun, survei yang dilakukan di Chicago menunjukkan
bahwa MBS tidak selamanya popular di kalangan guru. Tiga perempat dari seratus
orang guru yang disurvei menyatakan bahwa reformasi desentralisasi sekolah di
Chicago telah gagal meningkatkan prestasi belajar murid, dan bahkan lebih
banyak lagi responden yang menyangkal bahwa perubahan itu telah meningkatkan
motivasi guru.
I.
MBS
Sebagai Proses Pemberdayaan
Pemberdayaan
merupakan istilah yang sangat populer dalam era reformasi. Jika dikaitkan
dengan terminologi demokratisasi, pembangkitan ekonomi kerakyatan, keadilan dan
penegakan hukum, serta partisipasi politik. Pemberdayaan dimaksudkan untuk
mengangkat harkat dan martabat masyarakat dalam perekonomiannya, hak-haknya,
dan memiliki posisi yang seimbang dengan kaum lain yang selama ini telah lebih
mapan kehiduparrnya. Melalui pemberdayaan, kaum idealis atau para pejuang
demokrasi, keadilan, dan hak asasi manusia menginginkan adanya tats kehidupan
yang lebih adil, demokratis, serta tegaknya kebenaran dan keadilan.
Pemberdayaan
telah merambah pads berbagai bidang dan aspek kehidupan manusia, termasuk
pendidikan, antara lain dikeluarkan- nya kebijakan MBS sebagai paradigms barn
manajemen pendidikan. Manajemen berbasis sekolah merupakan konsep pemberdayaan
sekolah dalam rangka peningkatan mutu dan kemandirian sekolah. Dengan MBS
diharapkan para kepala sekolah, guru, dan personel lain di sekolah serta
masyarakat setempat dapat melaksanakan pendidikan sesuai dengan kebutuhan,
perkembangan zaman, karakteristik lingkungan dan tuntutan global.
Mndervatter
(1979) memberikan batasan pemberdayaan sebagai peningkatan pemahamnn manusia
untuk meningkatkan kedudukannya di masyarakat. Peningkatan kedudukan itu
meliputi kondisi-kondisi sebagai berikut:
1.
Akses, memiliki peluang yang cukup
besar untuk mendapatkan sumber sumber daya dan sumber dana;
2.
Daya pengungkit, meningkat dalam hal
daya tawar kolektifnya;
3.
Pilihan-pilihan, mampu dan memiliki
peluang terhadap berbagai pilihan;
4.
Status, meningkan citra diri, kepuasan
diri, dan memiliki perasaan yang positif atas identitas budayanya.
5.
Kemampuan refleksi kritis, menggunakan
pengalaman untuk mengukur potensi keunggulannya atas berbagai peluang pilihan-pilihan
dalam pemecahan masalah;
6.
Legitimasi, ada pertimbangan ahli yang
menjadi justifikasi atau yang membenarkan terhadap alasan-alasan rasional atas
kebutuhan-kebutuhan masyarakat;
7.
Disiplin, menetapkan sendiri stadar
mutu, untuk pekerjaan yang dilakukan untuk orang lain; dan
8. Persepsi kreatif, sebuah pandangan yang lebih
positif dan inovatif terhadap hubungan
dirinya dengan lingkungannya.
Kondisi-kondisi tersebut
dapat dipandang sebagai hasil dari proses pemberdayaan. Dengan perkataan lain
pemberdayaan dikatakan berhasil jika pada diri halayak sasaran dapat diamati
atau dapat menunjukan keadaan permukaan (indikator) sebagaimana tersebut
diatas.
Cook dan macaulay (1997)
memberikan definisi pemberdayaan sebagai “alat penting untuk memperbaiki
kinerja organisasi melalui penyebaran pembuatan keputusan dan tanggung jawab”.
Dengan demikian, akan memdorong keterlibatan para pegawai dalam pengambilan
keputusan dan tanggung jawab. Dalam dunia pendidikan pemberdayaan ditujukan
kepada peserta didik, guru, kepala sekolah dan pegawai administrasi. Sebagai
ilustrasi pada sebuah sekolah prestasi belajar para peserta didiknya meningkat
tajam karena pihak manajemen (kepala sekolah) memberikan kewenangan yang
leluasa kepada para guru untuk mengambil peran dalam dalam pengambilan
keputusan-keputusan sehubungan dengan pekerjaannya sehari-hari. Salah satu
contohnya adalah guru agama yang diberi kewenangan mengmbil keputusan dan
tindakan sehubungan dengan perilaku peserta didik. Hal tersebut menunjukkan
para peserta didik merasa puas, dan berusaha menjadi peserta didik yang
berprestasi. Dengan kebijakan itu, pengambilan keputusan terdistribusi pada
seluruh staf sehingga hal-hal penting yang membutuhkan keputusan dan tindakan
cepat tidak harus menuggu keputusan dari manajemen puncak (kepala sekolah).
Dalam dunia pendidikan,
pemberdayaan merupakan cara yang sangat praktis dan produktif untuk mendapatkan
hasil yang terbaik dari kepala sekolah (manajer), para guru, dan para pegawai.
Proses yang ditempuh untuk mendapatkan hasil terbaik dan produktif tersebut
adalah dengan membagi tanggung jawab secara proporsional kepada para guru. Satu
prinsip terpenting dalam pemberdayaan ini adalah melibatkan guru dalam proses
pengambilan keputusan dan tanggung jawab. Melalui proses pemberdayaan itu
diharapkan para guru memiliki kepercayaan diri (self-reliance).
Dalam MBS, pemberdayaan
dimaksudkan untuk memperbaiki kinerja sekolah agar dapat mencapai tujuan secara
optimal, efektif, dan efisien. Pada sisi lain, untuk memberdayakan sekolah
harus pula ditempuh upaya-upaya memberdayakan peserta didik dan masyarakat
setempat, disamping mengubah paradigm pendidikanyang dimiliki oleh para guru
dan kepala sekolah. Para guru dan kepala sekolah perlu lebih dahulu tahu,
memahami akan hakikat, manfaat, dan proses pemberdayaan peserta didik. MBS
sebagai proses pemberdayaan merupakan cara untuk membangkitkan kemauan dan
potensi peserta didik agar memiliki kemampuan mengontrol diri dan lingkungannya
untuk dimanfaatkan bagi kepentingan peningkatan kesejahteraan.
Pada dasarnya pemberdayaan
terjadi melalui beberapa tahap. Pertama,
masyarakat mengembangkan sebuah kesadaran awal bahwa mereka dapat melakukan
tindakan untuk meningkatkan kehidupannya dan memperoleh seperangkat kepentingan
agar mampu bekerja lebih baik. Melalui tahap tersebut, pada tahap kedua, mereka akan mengalami pengurangan
perasaan ketidakmampuan dan mengalami peningkatan kepercayaan diri. Akhirnya, ketiga, seiring dengan tumbuhnya
keterampilan dan kepercayaan diri, masyarakat bekerja sama untuk berlatih lebih
banyak mengambil keputusan dan memilih sumber-sumber daya yang akan berdampak
pada kesejahteraan mereka.
Sedikitnya terdapat delapan
langkah pemberdayaan, dalam kaitannya dengan MBS, yaitu (1) menyusun kelompok
guru sebagai penerima awal atas rencana program pemberdayaan; (2)
mengidentifikasi dan membangun kelompok peserta didik di sekolah; (3) memilih
dan melatih guru dan tokoh masyarakat yang terlibat secara langsung dalam
implementasi manajemen berbasis sekolah; (4) membentuk dewan sekolah, yang
terdiri dari unsure sekolah, unsure masyarakat di bawah pengawasan pemerintah
daerah; (5) menyelenggarakan pertemuan-pertemuan para anggota dewan sekolah;
(6)mendukung aktifitas kelompok yang tengah berjalan; (7) mengembangkan hubungan
yang harmonis antara sekolah dan masyarakat; (8) menyelenggarakan lokakarya
untuk evaluasi.
Untuk dapat memahami dan
menerapkan MBS sebagai proses pemberdayaan terdapat beberapa hal yang perlu
mendapat perhatian, seperti dijelaskan berikut ini:
1.
Penberdayaan
hubungan dengan upaya peningkatan kemampuan masyarakat untuk memegang kontrol
(atas diri dan lingkungannya); dari konsep itu perlu dilakukan upaya yang
memperhatikan prinsip-prinsip, (a)melakukan pembangunan yang bersifat local,
(b) mengutamakan dan merupakan aksi social, (c) menggunakan pendekatan
organisasi kemasyarakatan setempat.
2.
Adanya kesamaan
dan kesepadanan kedudukan dalam hubungan kerja; dari konsepsi itu perlu
dilakukan upaya yang memperhatikan prinsip-prinsip, (a)
manajemen yang swakelola oleh para guru dan kepala sekolah, (b) kepemilkian
oleh masyarakat (tumbuhnya rasa memiliki pada masyarakat terhadap program
sekolah), (c) pemantauan langsung oleh pemerintah daerah, (d) tumbuhnya rasa
kebersamaan (collectives), (e) bekerja secara kolaborasi antara berbagai pihak
yang berkepentingan dengan sekolah, baik dari pihak sekolah, masyarakat,
pemerintah, lembaga swasta maupun pihak-pihak lain.
3.
menggunakan pendekatan
partisipatif. Dari konsepsi tersebut beberapa prinsip yang perlu
diaktualisasikan adalah (a) merumuskan tujuan bersama, antara sekolah dan
masyarakat; (b) menyikapi proses peluncuran program MBS sebagai sebuah proses
dialog, dan (c) melakukan pembangunan sendiri.
4.
Pendidikan untuk
keadilan, dari konsepsi itu beberapa prinsip yang perlu diimplementasikan
adalah (a) mengembangkan kesan kritis; (b) menggunakan metode diskusi dalam
kelompok kecil; (c) menggunakan stimulus berupa masalah-masalah; (d)
menggunakan sarana, seperti permainan, sebagai alat untuk membantu masyarakat
melihat kembali dan membuat refleksi tentang realitas yang dihadapi; (e)
memusatkan perhatian pada pengembangan system social daripada
individu-individu; (f) mengutamakan penyelesaian konflik secara menang-menang
(win-win solution); (g) menjalin hubungan antarmanusia yang bersifat
non-hierarkhis, termasuk melalui dialog dan pembagian kepemimpinan; dan (h)
menggunakan fasilitator yang komit terhadap pembebasan.
Keempat hal tersebut merupakan ciri
proses pemberdayaan, yang meliputi (a) community organization, (b)
self-management and collaboration, (c) participatory approaches, dan (d)
education far justice. Ciri-ciri inilah yang merupakan tahapan dasar dalam MBS.
Berikut rincian ungkapan karakteristik pemberdayaan Kindervatter (1979) yang
disebutnya dalam bahasa orang awam (commonalities).
1.
Penyusunan kelompok
kecil; pemberdayaan menekankan aktivitas dalam kelompok kecil yang mandiri.
Kelompok-kelompok yang tumbuh secara alamiah barangkali akan menguat atau
terbentuk dengan basis interes-interes masyarakat. Koalisi juga perlu dibentuk
di antara para anggota kelompok.
2.
Pengalihan tanggung
jawab; dalam manajeen berbasis sekolah terjadi pengalihan dari pemerintah
kepada sekolah untuk memberdayakan diri dan lingkungannya. Dalam tahap-tahap
awal kegiatan, masyarakat barangkali agak malas atau enggan untuk terlibat.
Namun, pengalaman yang positif akan menanggulangi kemalasan tersebut.
3.
Pimpinan oleh para
partisipan; dengan latihan mengontrol atau mengambil keputusan dalam tingkat
yang tinggi (akan) mendorong semua aspek aktivitas organisasi. Kepemimpinan dan
pemimpin akan muncul secara alamiah atau dengan dipilih oleh masyarakat
sendiri.
4.
Guru sebagai
fasilitator; guru sebagai fasilitator merupakan pembimbing proses, orang
sumber, orang yang menunjukkan dan mengenalkan kepada peserta didik tentang
masalah-masalah yang dihadapi. Komitmen guru dan kepala sekolah sebagai
fasilator adalah terhadap keberhasilan tujuan pemberdayaan dan melaksanakan
peran besarnya sebagai pendukung masyarakat agar bisa bekerja secara mandiri .
5.
Proses bersifat demokratis
dan hubungan kerja yang luwes; segala sesuatu dalam manajemen berbasis sekolah
dirundingkan bersama dalam kedudukan yang sedeajat dan diputuskan melalui
pemungutan suara atau musyawarah (konsensus). Peranaan dan tanggung jawab
dibagi merata. Dalam beberapa kasus, partisipan tidak tahu bagaimana bertingkah
laku secara kooperatif dan demokratis. Namun, hal itu akan diperolehnya melalui
belajar.
6.
Merupakan integrasi
antara refleksi dan aksi; pengalaman dan masalah-masalah yang dimiliki para
partisipan akan menghasilkan focus. Analisis terhadap aksi dan reaksi secara
bersama mendorong ke arah perubahan yang melibatkan setiap orang pada berbagai
resiko pemecahan masalah, perencanaan, pengembangkan ketrampilan dan
pertentangan.
7.
Metode yang mendorong kepercayaan diri; metode
yang digunakan bersifat meningkatkan keterlibatan aktif, dialog, dan aktivitas
kelompok secara mandiri.
8.
Meningkatkan derajat
kemandirian social, ekonomi dan politik sebagai hasil proses pemberdayaan
kedudukan patisipan dalam masyarakat meningkat dalam hal-hal khusus tertentu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar