Minggu, 25 Desember 2011

Layanan Bimbingan Belajar


A.    Pengertian Layanan Bimbingan Belajar
Untuk dapat memahami apa yang dimaksud dengan layanan bimbingan belajar terlebih dahulu perlu dipahami apa yang dimaksud dengan belajar. Banyak definisi tentang belajar yang telah dirumuskan oleh para ahli, antara lain sebagai berikut:
1.      “Belajar adalah proses tingkah laku (dalam arti luas) ditimbulkan atau diubah melalui praktek dan latihan” (Garry & Kingsley, 1970:15)
2.      “Belajar adalah perubahan yang relatif permanen dalam tingkah laku atau kemampuan yang merupakan hasil dari pengalaman” (Vanderzanden dan Pace, 1984)
3.      “Belajar ialah proses perubahan tingkah laku seseorang terhadap situasi tertentu yang disebabkan oleh pengalamannya yang berulang-ulang dalam situasi itu, dimana perubahan tingkah laku itu tidak dapat dijelaskan berdasarkan atas kecenderungan tanggapan bawaan, kematangan, atau keadaan-keadaan sesaat seseorang (misalnya: kelelahan, pengaruh obat-obatan, dan sebagainya)” (Hilgard dan Bower, 1975)
Prayitno (1985) mengemukakan bahwa masalah adalah sesuatu yang tidak disukai adanya, menimbulkan kesulitan bagi diri sendiri dan atau orang lain, ingin atau perlu dihilangkan. menurut pengertian secara psikologis, belajar merupakan suatu proses perubahan yaitu perubahan dalam tingkah laku sebagai hasil dari interaksi dengan lingkungannya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Pengertian belajar dapat didefinisikan “Belajar ialah sesuatu proses yang dilakukan individu untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalaman individu itu sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya”.
Menurut Gagne (1984: 77) bahwa “belajar adalah suatu proses dimana suatu organisasi berubah perilakunya sebagai akibat pengalaman”. Dari definisi masalah dan belajar maka masalah belajar dapat diartikan atau didefinisikan sebagai berikut :Masalah belajar adalah suatu kondisi tertentu yang dialami oleh murid dan menghambat kelancaran proses yang dilakukan individu untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan”.
Kondisi tertentu itu dapat berkenaan dengan keadaan dirinya yaitu berupa kelemahan-kelemahan dan dapat juga berkenaan dengan lingkungan yang tidak menguntungkan bagi dirinya. Masalah-masalah belajar ini tidak hanya dialami oleh murid-murid yang lambat saja dalam belajarnya, tetapi juga dapat menimpa murid-murid yang pandai atau cerdas.
Dalam interaksi belajar mengajar siswa merupakan kunci utama keberhasilan belajar selama proses belajar yang dilakukan. Proses belajar merupakan aktivitas psikis berkenaan dengan bahan belajar.
Walaupun masing-masing ahli mengemukakan rumusan yang berbeda sesuai dengan penekanan-penekanan dan penonjolan-penonjolannya masing-masing, tetapi rupanya ada semacam kesamaan pendapat dikalangan para ahli sendiri bahwa belajar adalah proses perubahan tingkah laku. Menurut pengertian ini seseorang dikatakan telah belajar apabila dia telah dapat melakukan sesuatu yang tidak dapat dilakukan sebelumnya. Perubahan tingkah laku yang diharapkan terjadi dirumuskan dalam bentuk tujuan atau sasaran belajar. Misalnya, setelah mempelajari mata kuliah Bimbingan dan Konseling, mahasiswa dapat menjeleskan pengertian bimbingan dan konseling, dapat melaknsanakan bimbingan dan konseling dan sebagainya. Namun demikian, tidak semua murid dapat mencapai tujuan atau sasaran belajar itu dengan cepat dan tepat sehingga memerlukan tugas-tugas khusus yang terencana. Murid-murid seperti ini perlu diberikan bantuan atau pertolongan yang disebut layanan bimbingan belajar.
Dengan titik bertolak dari uraian diatas maka yang dimaksud dengan layanan bimbingan belajar ialah suatu proses bantuan yang diberikan kepada individu (murid) untuk dapat mengatasi masalah-masalah yang dihadapinya dlam belajar, agar setelah melaksanakan kegiatan belajar-mengajar mereka dapat mencapai hasil belajar yang lebih baik sesuai dengan  kemampuan, bakat, dan minat yang dimiliki masing-masing.
Pelaksanaan layanan bimbingan belajar dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
Langkah 1 : menentukan murid yang mengalami masalah belajar
Langkah 2 : mengungkapkan sebab-sebab terjadinya masalah belajar
Langkah 3 : membantu murid mengatasi masalah yang dialaminya dalam belajar
Langkah 4 : melaksanakan penilaian untuk menentukan sejauh mana layanan bantuan yang telah diberikan mencapai hasil yang diharapkan
Langkah 5 : melaksanakan usaha-usaha tindak lanjut dari layanan-layanan sebelumnya.

B.     Masalah Belajar
      Masalah belajar adalah suatu kondisi tertentu yang dialami oleh seseorang murid dan menghambat kelancaran proses belajarnya. Kondisi tertentu itu dapat berkenaan dengan keadaan dirinya yaitu berupa kelemahan-kelemahan yang dimilikinya dan dapat juga berkenaan dengan lingkungan yang tidak menguntungkan bagi dirinya. Masalah-masalah belajar ini tidak hanya dialami oleh murid-murid yang terbelakang saja, tetapi juga dapat menimpa murid-murid yang terbelakang saja, tetapi juga dapat menimpa murid-murid yang pandai atau cerdas.
Pada dasarnya, masalah-masalah belajar dapat digolongkan atas:
1.      Sangat cepat dalam belajar, yaitu murid-murid yang tampaknya memiliki bakat akademik yang cukup tinggi, memiliki IQ sebesar 130 atau lebih, dan memerlukan tugas-tugas khusus yang terencana.
2.      Keterlambatan akademik, yaitu  murid-murid yang tampaknya memiliki inteligensi normal tetapi tidak dapat memanfaatkannya secara baik.
3.      Lambat belajar, yaitu murid-murid yang tampak memiliki kemampuan yang kurang memadai. Mereka memiliki IQ sekitar 70-90 sehingga perlu dipertimbangkan untuk mendapatkan banttuan khusus.
4.      Penempatan kelas, yaitu murid-murid yang umur, kemampuan, ukuran, dan minat-minat sosial yang terlalu besar atau terlalu kecil untuk kelas yang ditempatinya.
5.      Kurang motif dalam belajar, yaitu murid-murid yang kurang semangat dalam belajar. Mereka tampak jera dan malas.
6.      Sikap dan kebiasaan buruk dalam belajar, yaitu murid-myrid yang kegiatan atau perbuatan belajarnya berlawanan atau tidak sesuai dengan yang seharusnya, seperti suka menunda-nunda tugas, belajar pada saat akan ujian saja.
7.      Kehadiran disekolah, yaitu murid-murid yang sering tidak hadir atau menderita sakit dalam jangka waktu yang cukup lama sehingga kehilangan sebagian besar kegiatan belajarnya.
Murid-murid seperti diatas perlu mendapatkannya bantuan dari guru agar mereka dapat melaksanakan kegiatan-kegiatan belajar mereka secara baik dan terarah. Pada gilirannya mereka dapat mencapai tujuan-tujuan yang diharapkan dalam pengajaran.

C.    PENENTUAN MURID-MURID YANG MENGALAMI MASALAH BELAJAR
Sesuai dengan fungsi-fungsi bimbingan dan konseling, maka yang pertama dan yang paling awal harus dilakukan dalam rangkaian kegiatan layanan bimbingan belajar adalah menentukan siapa murid yang mengalami masalah belajar. Penentuan siapa murid yang mengalami masalah belajar dapat dilakukan dengan menggunakan prosedur berikut ini:
1.      Penilaian hasil belajar
Guru diharapkan melaksanakan penilaian hasil belajar secara berkesinambungan. Salah satu tujuan dari penilaian hasil belajar adalah untuk mengetahui sejauh mana murid telah mencapai hasil belajar yang direncanakan sebelumnya. Dala hal ini ada dua jenis acuan yang digunakan, yaitu penilaian acuan patokan dan penilaian acuan norma

a)         Penilaian acuan patokan
Menurut penilaian yang menggunakan acuan Patokan, arah atau sasaran yang harus dicapai murid dalam belajar ditentukan oleh tujuan-tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya, yang disebut tujuan intruksional umum (TIU) dan tujuan intruksional khusus (TIK). Istilah tujuan intruksional khusus kadang-kadang disebut juga sasaran belajar.
Menurut penilaian acuan ini, murid dikatakan telah mencapai hasil belajar sebagaimana yang diharapkan apabila hasil belajar sebagaimana yang siharapikan apabila telah menguasai bahan-bahan belajar sesuai dengan patokan yang ditetapkan. Patokan ini dinyatakan dalam bentuk presentase minimal, misalnya 75%, 80%, 90% dan sebagainya. Memang tidak ada ketentuan yang pasti tentang batas presentase minimal yang harus digunakan. Biasanya ditetapkan atas dasar kesepakatan dari para perencana pendidikan dan pengajaran di sekolah.
Dengan menggunakan batas presentase minimal itu, guru dapat menentukan mana murid yang telah menguasai bahan belajar dan mana yang belum. Murid-murid yang belum menguasai bahan belajar digolongkan sebagai murid yang mengalami masalah dalam belajar.
b)         Penilaian acuan norma (PAN)
Pelaksanaan penilaian yang menggunakan acuan norma didasarkan atas anggapan bahwa setelah sekelompok murid mengikuti kegiatan belajar, maka tingkat keberhasilan mereka akan menyebar dalam bentuk kurva norma berikut ini :






 







        2,5%           13,5%        34%            34%             13,5%     2,5%    

       KS              K                             S                          B              BS



Sebagian besar (68%) dari murid itu akan memperoleh hasil belajar sedang (S); sebagian kecil yaitu 13,5% memperoleh hasil belajar baik(B) dan 13,5% lagi kurang (K). selebihnya berada pada kedua ujung kurva yaitu +2,5% memperoleh hasil belajar baik sekali (BS), dan 2,5% lagi kurang sekali (KS).

Dengan menggunakan penilaian acuan ini guru dapat menentukan siapa murid yang paling pandai, kurang pandai, atau paling tidak pandai dibandingkan dengan teman-teman sekelompoknya. Selanjutnya berdasarkan atas pemahaman itu guru memanfaatkanya untuk kepentingan bimbingan dan konseling, baik untuk layanan bimbingan belajar maupun untuk layanan bimbingan lainnya.

2.      Pemanfaatan hasil tes intelegensi
Belajar dipengaruhi oleh intelegensi atau kemampuan dasar. Semakin tinggi kemampuan dasar semakin tinggi hasil belajar diperoleh.
140 – ke atas – sangat tinggi
120 – 139 – tinggi
110 – 119 – di atas biasa
100 – 109 – biasa/sedang
90 – 99 – dibawah biasa
80 – 89 – rendah
Di bawah 79 – sangat rendah

Tinggi rendahnya tingkat kemampuan dasar itu biasanya diukur dengan tes kemampuan dasar yang sudah baku (standardized). Beberapa tes yang sering digunakan untuk mengukur tingkat kemampuan dasar murid sekolah dasar antara lain adalah Draw a man test (DMT), colour progressive matrices test (CPM), weschsler intelligence scale for children (WISC), dan standford binet intelligence scale (SBIS). Hasil tes ini disimpan di dalam buku data pribadi murid untuk selanjutnya digunakan dalam rangka pelaksanakan layanan bimbingan dan konseling umumnya dan layanan bimbingan belajar khususnya.
Hasil belajar yang dicapai murid seyogyanya dapat mencerminkan kemampuan dasar yang dimilikinya. Murid yang tingkat kemampuan dasarnya tinggi diharapkan memperoleh hasil belajar yang tinggi pula. Dengan membandingkan tingkat kemampuan dasar yang dimiliki oleh masing-masing murid dengan hasil belajarnya, guru dapat mengetahui apakah murid yang bersangkutan telah mencapai hasil belajar yang optimal atau belum. Murid-murid yang hasil belajarnya lebih rendah dari tingkat kemampuan dasar yang dimilikinya digolongkan sebagai murid yang bermasalah dan perlu mendapat bantu7an khusus melalui layanan bimbingan belajar.
3.      Pengamatan (observasi)
Dibandingkan dengan guru sekolah menengah, maka guru sekolah dasar menempati kedudukan yang menguntungkan dalam mengamati keadaan murid sehari-hari. Dia diserahkan tugas untuk memegang dan mengajarkan sebagian besar mata pelajaran yang ada pada sebuah kelas tertentu. Setiap hari mulai dari jam pertama sampai dengen jam pelajaran terakhir guru selalu berhadapan dengan murid yang sama. Kedudukan yang demikian itu memungkinkan dia dapat mengamati keadaan masing-masing murid secara lebih mendalam. Dia dapat mengetahui secara pasti siapa muridnya yang serig terlambat dtang ke sekolah, siapa murid yang sikap dan kebiasaanya buruk dalam belajar, dan sebagainya. Berdasarkan pengenalan yang mendalam itu, guru hendaknya dapat pula memanfaatkan peluang itu untuk usaha bimbingan dan konseling umumnya, dan layanan bimbingan belajar khusus.
D.    Pengungkapan Sebab-sebab Masalah Belajar
Setelah guru mengetahui siapa murid yang bermasalah dalam belajar dan apa jenis masalah yang dialaminya, selanjutnya guru perlu mengungkapkan mengapa masalah itu terjadi. Usaha ini didasarkan pada anggapan bahwa guru tidak dapat mengambil keputusan yang bijaksana tentang bagaimana membantu mengatasi masalah yang dialami oleh murid dalam belajar, jika guru itu sendiri tidak memiliki gambaran yang jelas tentang apa masalah yang sesungguhnya dan mengapa masalah itu terjadi. Misalnya jika msalah belajar yang dialami oleh seseorang murid menyangkut kesulitan membaca yang disebabkan penglihatan jauh, maka guru tidak dapat membantu murid tersebut hany dengan menyediakan jam tambahan untuk latihan membaca, taupun dengan menyuruh murid agar rajin belajar dirumah.
Dalam rangka mengungkapkan sebab-sebab terjadinya masalah belajar yang dialami oleh murid ada dua tahap yang harus dilalui, yaitu: (1) tahap menentukan letak (lokasi) masalah, dan (2) tahap memperkirakan sebab-sebab terjadinya masalah belajar (Koestoer P. dan A. Hadisaputra, 1978).
Tahap penentuan letak masalah merupakan tahap penentuan dimana sebenarnya masalah itu terjadi. Oleh sebab itu dalam tahap ini perlu dilacak bagian-bagian mana dari tujuan-tujuan pengajran yang belum dikuasai oleh murid. Tujuan itu tidak hanya mengenai tujuan-tujuan formal (tercantum dalam kurikulum) saja, tetapi juga tujuan-tujuan informal yaitu tujuan-tujuan yang ada di pikiran guru. Setiap mata pelajaran mempunyai tujuan-tujuan tertentu. Tujuan-tujuan itu merupakan tingkah laku yang diharapkan terjadi setelah murid melaksanakan kegiatan belajar. Misalnya, setelah mempelajari mata pelajaran Pancasila murid dapat menyebutkan sekurang-kurangnya dua contoh pengamalan masing-masing sila dalam kehidupan sehari-hari. Tujuan-tujuan seperti itu dikatakan sebagai tujuan formal dari pengajaran. Tingkah laku murid yang diharapkan tidak hanya menyangkut isi pelajarannya, tetapi juga menyangkut sikap-sikap, kebiasaan-kebiasaan belajar, sopan santun dan sebagainya. Misalnya, mengangkat tangan setiap kali akan berbicara di dalam kelas atau meminta izin kepada guru setiap kali akan keluar kelas sewaktu jam pelajaran berlangsung. Setelah guru mengetahui letak masalah yang sesungguhnya, guru dapat melaksanakan tahap berikutnya yaitumemperkirakan sebab-sebab terjadinya masalah yang dialami oleh murid dalam belajar. Guru sukar menentukan sebab-sebab terjadinya masalah yang sesungguhnya karena masalah belajar itu sangat kompleks. Hal ini mengandung pengertian bahwa: pertama masalah belajara dapat timbul oleh berbagai sebab yang berlainan. Suatu masalah belajar yang sama dialami oleh dua orang murid atau lebih, belum tentu disebabkan oleh faktor yang sama. Misalnya dua murid kelas tiga sekolah dasar tidak dapat membaca dengan baik dan benar suatu bacaan yang diberikan gurunya. Murid yang satu mungkin disebabkan karena penglihatannya jauh, sedangkan murid yang lain disebabkan tidak menguasai tata bahasa yang benar. Kedua, dari sebab seorang murid atau lebih menimbulkan masalah yang berlainan. Sering kali suatu kondisi yang sama dimiliki oleh seorang murid atau lebih menimbulkan masalah yang berlainan pada masing-masing individu. Misalnya, dua orang murid sama-sama berasal dari lingkungan keluarga yang kurang memungkinkan. Murid yang  satu mungkin akan berusaha sekuat tenaga memusatkan perhatiannya terhadap pelajaran dengan sedikit mungkin membuang waktunya untuk kegiatan yang tidak begitu perlu, sedangkan murid yang lain tidak dapat belajar dengan  baik. Akibatnya murid yang satu memperoleh nilai yang  baik, sementara murid yang lain memperoleh nilai yang kurang. Ketiga, sebab-sebab masalah belajar dapaat saling berhubungan antara satu dengan yang lain. Kadang-kadang masalah belajar yang dihadapi oleh seorang murid tidak timbul dari satu sebab saja, melainkan dapat timbul dari berbagai sebab yang saling berhubungan antara yang satu dengan yang lain. Misalkan seorang yang memiliki kondisi tertentu (cacat fisik, gagap) yang dapat menyebabkan ia mengalami masalah belajar. Kondisi yang seperti ini menimbulkan tanggapan dari orang lain dan sskitarnya. Tanggapan-tanggapan yang diterimanya itu menyebabkan dia memberikan tanggapan pula pada dirinya (misalnya, merasa rendah diri). Perasaan rendah diri itu selanjutnya menimbulkan lagi kesulitan belajar pada murid yang bersangkutan.
Uraian diatas memaparkan secara teknis langkah-langkah yang harus ditempuh dalam mengungkapkan sebab-sebab terjadinya masalah belajar yang dialami murid. Pada dasarnya masalah belajar itu dapat terjadi oleh berbagai faktor, dan dapat digolongkan atas: (1) faktor yang bersumber dari murid itu sendiri. (2) faktor yang bersumber dari lingkungan keluarganya. (3) faktor yang bersumber dari lingkungan dan masyarakat.
1.            Faktor-faktor yang bersumber dari murid itu sendiri
a.    Tingkat kecerdasan Rendah
Tidak diragukan lagi bahwa taraf kecerdasan atau kemampuan dasar merupakan salah satu factor penentu keberhasilan belajar. Kemampuan dasar yang tinggi pada seorang anak memungkinkan dapat menggunakan kemampuannya untuk belajar dan memecahkan persoalan-persoalan baru secara cepat, tepat, dan berhasil. Sebaliknya tingkat kemampuan yang rendah dapat mengakibatkan murid mengalami kesulitan dalam belajar.
b.   Kesehatan sering terganggu
Belajar tidak hanya melibatkan pikiran, tetapi juga jasmaniyah. Badan yang sering sakit-sakitan, kurang vitamin, dan kurang gizi dapat membuat seseorang tidak berdaya, tidak bersemangat dan tidak memiliki kemampuan dalam belajar. Apabila seorang tidak bersemangat dan tidak memiliki kemampuan dalam belajar, maka besar kemungkinan orang yang bersangkutan tidak dapat mencapai hasil belajar seperti yang diharapkan.
c.    Alat penglihatan dan pendengaran kurang berfungsi dengan baik
penglihatan dan pendengaran merupakan alat indera yang terpenting untuk belajar. Apabila mekanisme antara mata dan telinga kurang berfungsi, maka tanggapan yang berasal dari dunia luar;  umpamanya dari guru, tidak mungkin diterima oleh yang bersangkutan. Oleh sebab itu, murid tidak dapat menerima dan memahami bahan-bahan pelajaran, baik yang disampaikan langsung oleh guru maupun melalui buku-buku bacaan.
d.   Gangguan alat perseptual
setelah sesuatu pesan diterima oleh mata dan telinga, langkah berikutnya dalam proses belajar ialah mengirim pesan itu ke otak, sehingga pesan itu dapat ditafsirkan. Langkah itu disebut persepsi (koestoer P. dan A. Hadisaputro, 1978). Apa sebenarnya yang terjadi dalam persepsi adalah proses pengolahan tanggapan baru (yang diterima melalui indera) dengan pertolongan ini akan menghasilkan dan memberikan arti atau makna tertentu kepada tanggapan yang diterima. Tetapi, persepsi itu bias juga salah, kalau ada gangguan pada alat perceptual. Dalam hal ini tanggapan yang diterima oleh alat indera tidak dapat diartikan sebagaimana mestinya.
e.    Tidak menguasai cara-cara belajar yang baik
Kegagalan belajar tidak semata-mata disebabkan oleh tingkat kesehatan yang rendah atau factor kesehatan, tetapi juga disebabkan karena tidak menguasai cara belajar yang baik. Ternyata terdapat hubungan yang berarti antara cara belajar yang diterapkan dengan hasil belajar yang dicapai (Rosmawati, 1983). Ini berarti bahwa murid yang cara belajarnya lebih baik cenderung memperoleh hasil yang lebi baik pula dan demikian juga sebaliknya. Untuk memungkinkan murid dapat menerapkan cara belajar yang baik, sejak dini murid hendaklah diterapkan dan dibiasakan menerapkan cara belajar yang baik dalam kehidupan sehari-hari baik disekolah maupun dirumah.

2.            Faktor-faktor yang bersumber dari keluarga
a.       Kemampuan ekonomi orang tua yang kurang memadai
hasil belajar yang baik tidak dapat diperoleh hanya mengandalkan keterangan-keterangan yang diberikan guru di depan kelas, tetapi juga membutuhkan alat-alat yang memadai seperti: buku tulis, pensil, pena, peta dan terlebih lagi buku bacaan. Sebagian besar alat-alat pelajaran itu harus disediakan sendiri oleh murid-murid yang bersangkutan. Bagi orang tua yang keadaan ekonominya kurang baik sudah barang tidak dapat memenuhi kebutuhan anaknya itu secara memuaskan. Apabila keadaan ini terjadi pada orang tua murid, maka murid yang bersangkutan akan menanggung resiko yang memang tidak diharapkan.
b.      Anak-anak kurang mendapatkan perhatian dan pengawasan dari orang tuanya
pendidikan tidak hanya berlangsung di sekolah tetapi juga dalam keluarga. Sayangnya, masih banyak orang tua yang beranggapan bahwa tugas mendidik hanyalah tugas sekolah saja. Para orang tua seperti itu menganggap bahwa tugas mendidik hanyalah tugas orang tua tidak lebih sekedar mencukupi kebutuhan lahir anak seperti: makan, minum, pakaian, dan alat-alat pelajaran serta kebutuhan lain yang bersifat kebendahan. Oleh sebab itu para orang tua yang seperti ini selalu sibuk dengan pekerjaan mereka sejak pagi sampai sore, bahkan ada juga yang sampai malam untuk mendapatkan uang sebanyak-banyaknya. Mereka tidak memiliki waktu lagi untuk memperhatikan dan mengawasi anak-anaknya belajar dan atau bermain.


c.       Harapan orang tua terhadap anak terlalu tinggi
disamping adanya orang tua yang kurang memperhatikan dan mengawasi anaknya, terdapat pula orang tua yang memiliki pengharapan yang sangat tinggi terhadap anaknya. Mereka memaksa anak-anak itu untuk selalu rajin belajar, dan memperoleh nilai yang tinggi tanpa memperhatikan anak memiliki kemampuan yang cukup memadai untuk melaksanakan kegiatan belajar dan memperoleh nilai tinggi. Bagi murid-murid yang ditakdirkan tidak mempunyai kemampuan yang cukup tinggi dengan sendirinya akan merasa tugas-tugas dan harapan itu sebagai suatu siksaan dan pada gilirannya dapat menimbulkan putus asa dan tak acuh lagi  pada murid itu sendiri.
d.      Orang tua pilih kasih terhadap anak
keadaan anak dalam suatu keluarga tidak selalu sama, dengan kata lain mereka dilahirkan dengan membawa kelebihan dan kekurangan masing-masing. Ada anak yang dilahirkan membawa potensi yang cukup tinggi, tetapi ada juga yang sebaliknya. Ada anak yang dilahirkan sesuai yang diharapkan, tetapi juga tidak demikian. Keadaan-keadaan ini rupanya tidak selalu diterima oleh sebagian orang tua sebagai suatu kenyataan.  Ada orang tua yang menolak anaknya yang keadaannya tidak sesuai dengan yang mereka harapkan. Penolakan ini memang sangat tidak dinyatakan secara terus terang, tetapi ditampilkan dalam bentuk perlakuan-perlakuan tertentu. Misalnya dengan melebih-lebihkan atau menyanjung-nyanjung anak yang mereka anggap memenuhi harapan mereka dan mengabaikan atau mencela anak yang tidak mereka harapkan.
e.       Hubungan keluarga tidak harmonis
Orang tua merupakan tumpuan harapan anak-anak. Mereka mengharapkan pendidikan, bimbingan, kasih sayang dari orang tua agar dapat tumbuh dan berkembang menjadi manusia dewasa. Harapan-harapan hanya mungkin terwujud apabila dalam keluarga terdapat hubungan yang harmonis antara yang satu dengan yang  lain, yaitu antara ibu dengan ayah, antara kedua orang tua dengan anak-anaknya dan antara anak-anak sesamanya. Apabila di dalam suatu keluarga tidak terdapat hubungan yang harmonis seperti ayah dan ibu yang selalu cekcok, jarang tinggal dirumah, anak-anak sering bertengkar sesamanya dan sebagainya, maka anak akan merasa tidak aman dan tidak dapat memusatkan perhatiannya dalam belajar. Hal ini terjadi karena proses belajar yang memang menuntut adanya ketenangan dan ketrentaman dirumah.
3.            Faktor-faktor yang bersumber dari lingkungan sekolah dan masyarakat
Masalah-masalah yang dialami murid dalam belajar tidak saja bersunber dari keadaan rumah tangga atau keadaan murid, tetapi dapat juga bersumber dari sekolah atau lembaga pendidikam itu sendiri. Kondisi-kondisi sekolah yang dapat menyebabkan masalah belajar pada antara lain : kurikulum yang tidak sesuai, guru yang kurang menguasai bahan pelajaran, metode mengajar yang kurang sesuai, alat-alat dan media pengajaran kurang memadai.
 
E.     Membantu murid mengatasi masalah belajar
      Berkenaan dengan masalah-masalah yang dihadapi murid dalam belajar, ada beberapa hal yang dapat dilakukan oleh guru, antara lain
1.      Pengajaran perbaikan
Pengajaran perbaikan bentuk khusus dari pengajaran yang diberikan kepada seseorang atau beberapa orang murid yang mengalami kesulitan dalam belajar. Kekhususan dari pengajaran ini terletak pada murid yang dilayani, bahan pelajaran, metode, dan media penyampaiannya. Seperti setelah disinggung diatas, bahwa murid yang dilayani adalah murid-murid yang mengalami kesulitan-kesulitan dalam belajar. Kesulitan-kesulitan itu dapat berupa adanya bagian-bagian dari bahan pelajaran yang tidak dikuasai, kesalahan memahami kon sep-konsep, dan sebagainya. Hal ini sekaligus dapat menjadi materi atau bahan dari pengajaran perbaikan. Bahan ini dapat berfariasi antara seorang murid dengan murid lain. Metode dan medianya juga berfariasi.
            Kegiatan pokok dalam pengajaran perbaikan terletak pada usaha memperbaiki kesalahan-kesalahan atau penyimpangan-penyimpangan yang terjadi pada nurid yang berkenaan dengan mata pelajaran yang telah dipelajarinya. Oleh sebab itu, guru tidak perlu lagi banyak menggunakan metode ceramah atau metode diskusi dalam menyajikan bahan pelajaran kepada murid. Guru juga tidak perlu lagi mengulang mengajarkan semua bahan pelajaran yang sudah disampaikan. Pengajaran dipusatkan pada bahan-bahan pengajaran yang belum dikuasai dengan baik oleh murid, dengan jalan memberikan penjelasan seperlunya, mengadakan Tanya jawab, demontrasi, latihan, pemberian tugas dan evaluasi. Berkenaan dengan hal ini,Bradfield (dalam Travers, 1970) menyarankan :
a.       Berikan tugas-tugas singkat tentang hal-hal yang harus dikerjakan oleh murid dengan mempertimbangkan juga penyelesaian tugas-tugas sebelumnya :
b.      Pastikan bahwa murid pernah memahami secara baik tentang apa yang harus dikerjakannya. Misalnya, dengan member tanda dengan pensil atau tinta berwarna pada bagisn-bagian ysng harus dikerjakan:
c.       Selang-selingilah waktu pertemuan dengan kegiatan-kegiatan lain, dengan secara bertahap tingkatkan lama waktu pertemuan:
d.      Hindari memberikan petunjuk secara panjang lebarr dan sukar dipahami murid.
e.       Petunjuk-petunjuk mengerjakan tugas hendaklah diberikan bagian perbagian.
f.       Murid hendaklah ditempatkan pada ruangan yang bebas dari pengaruh-pengaruh atau perangsang-perangsang yang dapat menggangu pemusatan perhatiannya. Murid yang sedang mengalami masalah belajar sukar memusatkan perhatiannya dalam waktu yang cukup lama. Mereka sangat mudah terpengaruh oleh hal-hal yang ada disekitarnya.
g.      Berikan sebanyak mungkin dorongan agar murid mau menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan.
h.      Jagalah agar suasana perasaan murid selalu dalam keadaan stabil dan tenang.
i.        Hindarilah pemberian tugas-tugas yang terlalu berat dan usahakan menumbuhkan suatu kecintaan untuk bekajar secara baik dan rapi serta mempunyai sikap positif dalam bekerja.
2.      Pengajaran pengayaan
Pengajaran pengayaan adalah suatu bentuk pengajaran yang khusus diberikan kepada murid-murid yang sangat cepat dalam belajar. Biasanya, murid-murid yang sangat cepat dalam belajar dapat menguasai bahan-bahan pelajaran yang diberikan lebih cepat dari pada teman-teman sekelas. Sehubungan dengan hal ini, suatu pertanyaan yang sering disampaikan adalah: “Apakah murid yang sangat cepat dalam belajar juga disebut sebagai murid yang bermasalah dalam belajar?”. Dilihat dari segi belajar yang dicapainya, murid seperti ini memang tidak dapat digolongkan sebagai murid yang mengalami masalah dalam belajar, yang menjadi masalah adalah bagaimana agar hasil belajar yang dicapainya itu dapat lebih ditingkatkan lagi, atau setidak-tidaknya bagaimana hasil belajar yang telah dicapai itu dipertahankannya terus pada masa yang akan dating sehingga mereka benar-banar dia mewujudkan perkembangannya secara optimal. Oleh sebab itu, kepada mereka perlu diberi pengajaran pengayaan. Melalui pengajaran pengayaan murid memperoleh kesempatan untuk memperluas dan memperdalam pengetahuan dan ketrampilannya dalam bidang yang dipelajarinya.
            Beberapa bentuk pengayaan yang mungkin dapat ditempuh adalah dengan jalan menugasi murid:
a.       Membaca pokok/sub pokok bahasan yang lain yang bersifat perluasan atau pendalaman dari pokok/atau sub pokok bahasan yang sedang dipelajari,
b.      Melaksanakan kerja praktek atau percobaan-percobaan, dan
c.       Mengerjakan soal-soal latihan.
3.      Pembinaansikap dan Kebiasaan Belajar yang Baik
Sikap dn kebiasaan belajar Rosmawati (1983) dan Ali Yusuf (1984) menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang berarti antara sikap dan kebiasaan belajar yang baik cenderung memperoleh hasil belajar yang baik, dan demikian sebaliknya. Sejalan dengan itu, Prayitno (1973) menyatakan bahwa:
“…. Cara belajar (yang meliputi berbagai kebiasaan dan sikap dalam belajar) akan sangat mempengaruhi hasil belajar yang dicapai. Oleh sebab itu, jika seseorang murid mendapat nilai yang kurang memuaskan dalam belajar, salah satu factor penting yang perlu diperiksa adalah bagaimana cara belajar yang ditemouh.”
Dengan berpedoman pada uraian di atas, maka sikap dan kebiasaan belajar itu memegang peranan penting. Murid perlu memiliki dan menerapkan sikap dan kebiasaan belajar yang baik dalam belajar untuk dapat mewujudkan kemampuan-kemampuan dasar yang tinggi saja bukanlah satu-satunya jaminan bagi murid untuk berhasil dalam belajar tetapi perlu ditunjang oleh penerapan sikap dan kebiasaan belajar yang baik.
Sikap dan kebiasaan belajar itu tidak dibwa sejak lahir atau diturunkan dari kedua orang tua melainkan terbentuk dari hasil interaksi dengan dunia luar, dipelajari dan dilatihkan serta diterapkan secara terus-menerus dalam kehidupan sehari-hari. Pembinaan sikap dan kebiasaan belajar yang baik harus dilaksanakan sejak anak memasuki sekolah dasar dan dilanjutkan terus dalam kehidupan anak sehari-hari, baik disekolah maupun di rumah.
Beberapa cara yang dapat dilakukan guru untuk menumbuh-kembangkan sikap dan kebiasaan belajar yang baik dari diri murid adalah:
1.      Membantu murid menyusun rencana belajar yang baik. Rencana ini memuat pokok dan sub pokok bahasan yang akan dipelajari, tujuan yang akan dicapai, cara-cara mempelajari bahan-bahan yang bersangkutan, alat-alat yang diperlukan dan cara-vara memeriksa atau mengetahui kemajuan-kemajuan yang dicapai.
2.      Membantu murid mengikuti kegiatan belajar-mengajar di dalam kelas. Sebagian besar kegiatan belajar-mengajar berlangsung di dalam kelas. Dalam hal ini, murid perlu mengetahui apa yang harus dikerjakan sebelum mengikuti kegiatan belajar-mengajar, bagaimana cara memahami dan mencatat keterangan-keterangan yang diberikan oleh guru, dan apa pula yang harus dikerjakan setelah kegiatan belajar-mengajar berakhir (setelah sampai di rumah).
3.      Melatih murid membaca cepat. Kecepatan menunjuk kepada banyaknya kata-kata yang tepat yang dapat dibaca dibacadalam waktu tertentu. Dengan membaca cepat, kemungkinan murid memperoleh banyak informasi atau ilmu pengetahuan dari buku sumber yang dibacanya.
4.      Melatih murid untuk dapat mempelajari buku pelajaran secara efesien dan efektif. Salah satu metode yang perlu dikuasai oleh murid adalah metode SQR3 (Survey, Question, Read, Recite, Write, dan Review) yang dikembangkan oleh Francis P. Robinson (Dorothy Keiter, 1975).
5.      Menbiasakan murid mengerjakan tugas-tugas secara teratur, bersih dan rapi.
6.      Membantu murid menyusun jadwal belajar dan mematuhi jadwal yang telah disusunnya. Untuk ini diperlukan adanya pemantauan dan pengawasan yang berkesinambungan.
7.      Membantu murid agar dapat berkembang secara wajar dan sehat. Misalnya, dengan memindahkan tempat duduk murid yang dilakukan secara berkala, memberikan posisi duduk murid (tidak terlalu membungkuk, jarak mata dan buku kurang lebih 30cm), memeriksa kuku dan sebagainya,
8.      Membantu murid mempersiapkan diri untuk mengikuti ujian, yang meliputi persiapan mental, penguasaan bahan pelajaran, cara-cara menjawab soal ujian, dan segi-segi administraktif penyelenggaraan ujian. 
4. Meningkatkan Motivasi Murid untuk Belajar
Motivasi merupakan suatu usahayang disadari untuk menyerahkan, mengajarkan dan menjaga tingkah laku seseorang agar ia terdorong untuk bertindak melakukan sesuatu sehingga mencapai hasil atau tujuan tertentu. (Ngalim Purwanto, 1990:73)
Dalam belajar, motivasi memegang yang sangat penting dan menentukan pencapaian tujuan belajar. Di sekolah sering kali ditemukan adanya murid-murid yang malas dalam belajar. Mereka tampak tidak bersemangat, suka membolos, meninggalkan jam pelajaran tertentu, tidak mengerjakan tugas-tugas yang diberikan oleh guru, dan sebagainya. Murid-murid seperti ini tidak sewajarnya dibiarkan begitu saja, karena akan dapat mengurangi efektivitas belajar murid itu sendiri. Akibat yang lebih jauh murid-murid itu tidak dapat mencapai tujuan-tujuan pengajaran sesuai dengan yang diharapkan. Untuk murid yang seperti itu hendaknya diupayakan agar senantiasa meningkatkan motivasi mereka dalam belajar. Meningkatkan motivasi disini berarti menggerakan murid untuk ingin belajar. Berkenaan dengan hal ini, disamping memperhatikan dan menerapkan prinsip-prinsip belajar yang efektif didalam melaksanakan kegiatan belajar-mengajar, guru harus perlu :
1.      Mempelajari hal-hal yang melatarbelakangi tingkah laku murid yang tidak mau belajar
2.      Memberikan bantuan untuk meningkan motivasi belajar berdasarkan atas pemahaman yang mendalam tentang latarbelakang tingkah laku murid itu, guru memberikan bantuan untuk peningkatkan motivasi belajar.
3.      Menyadarkan murid tentang adanya semacam kekurangan yang dimilikinya dengan maksud agar ia merasakan adanya suatu kebutuhan untuk ingin belajar.
Di bawah ini dikemukakan beberapa cara yang dapat dilakukan guru untuk bangkitkan motivasi murid-murid dalam belajar (Dorothy Keiter, 1975)
a.       Tentukan tujuan-tujuan yang akan dicapai oleh murid dalam belajar, tujuan meliputi tujuan jangka pendek, tujuan jangka menengah, dan tujuan jangka panjang.
·         Tujuan jangka pendek merupakan tujuan-tujuanyang segera dapat dicapai. Tujuan ini akan mendorong murid untuk mencapai tujuan berikutnya.
·         Tujuan jangka menengah merupakan tujuan sementara yang dapat dicapai. Seringkali, tujuan ini menjadi langkah yang diperlukan sebelum dapat melangkah ketujuan selanjutnya.
·         Tujuan jangka panjang merupakan tujuan akhir yang akan dicapai murid dalam belajar. Misalnya, menjadi supir, dokter, dan sebagainya, tujuan-tujuan yang ditetapkan haruslah realistis sesuai dengan kemampuan murid untuk mencapainya.
b.      Usahakanlah menimbulkan minat agar mau untuk mempelajari mata pelajaran yang bersangkutan. Setiap mata pelajaran memiliki nilai praktis dan nilai social. Nilai praktis adalah nilai yang segera kelihatan. Misalnya, pengetahuan tentang ilmu hitung untuk  berbelanja ditoko. Nilai social merupakan nilai yang bermanfaat untuk kehidupan social. Misalnya cara memainkan beberapa permainan.
c.       Ikutsertakanlah semua aspek kehidupan anak sebagai sumber belajar. Seluruh lingkungan dan pengalaman hidup dapat menjadi alat dan sumber belajar. Belajar berhitung tidak hanya terbatas pada buku teks saja, tetapi dapat juga menggunakan situasi nyata yang dilihat anak dalam kehidupannya sehari-hari, misalnya kesebelasan sepak bola.
d.      Hubungkanlah hal-hal yang dipelajari dengan kehidupan murid. Membaca didalam kelas hanyalah sebagai latihan untuk membaca diluar kelas dan didalam kehidupan orang dewasa. Penemuan ilmiah penting karena akan mempengaruhi kehidupan (social-ekonomis) individu, masyarakat, bangsa, dan Negara.
e.       Perbanyaklah hal-hal yang menarik perhatian murid, tetapi jangan berhenti di situ. Tunjukanlah bahwa ada saling ketergantungan antara hal-hal yang disukai dengan hal-hal yang tidak disukainya.
f.       Tunjukanlah kepada murid-murid apa yang dapat mereka harapkan untuk dicapai. Belajar merupakan tanggung jawab individu. Tidak ada orang yang dapat belajar untuk orang lain, dalam arti murid hanya dapat mencapai perubahan kalau dia sendiri yang berusaha belajar (bukan hanya karena guru).
g.      Doronglah murid untuk menggunakan informasi yang dimilikinya. Berikanlah pujian kepad murid setiap kali dia mencapai kemajuan.


2 komentar: